Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Boleh ke Toilet, Asal...

17 Mei 2020   19:45 Diperbarui: 17 Mei 2020   19:48 3285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengajar bahasa Inggris selama 20 tahun lebih, tentulah banyak yang bisa dibahas. Dari pertama kali grogi saat mengajar, bikin murid nangis, sampai terharu melihat beberapa peserta didik memberi hadiah untuk saya.

"Kenang-kenangan untuk bapak."

Bagi saya, sulit menggambarkan perasaan sewaktu menerima hadiah-hadiah tersebut.

Kalau dirangkum, ada tiga hal yang menjadi kenangan indah yang tak terlupakan.

Pertama, Perilaku dan komentar anak-anak yang spontan dan lucu.

Karena saya terlahir sebagai anak bungsu dari tujuh bersaudara, saya tidak pernah punya kesempatan dalam hidup untuk berinteraksi dengan anak-anak usia dini di masa pertumbuhan dulu. 

Sejak kecil sampai lulus SMA, saya lebih konsentrasi pada pelajaran sekolah, karena ekonomi keluarga tidak dalam status "berlebihan". Itu membuat saya serius dalam menyikapi hidup. Saya kasihan pada orangtua dan kakak-kakak saya yang sudah membiayai sekolah sampai lulus SMA. 

Waktu kuliah, saya memberanikan diri untuk mandiri, tinggal di indekos, karena tidak mau merepotkan saudara-saudara saya. 

Supaya bisa membayar indekos dan kehidupan sehari-hari, puji Tuhan, saya mendapat pekerjaan sebagai guru horor di beberapa Sekolah Dasar Negeri (SDN), kursus bahasa Inggris, serta beberapa Les Privat. 

Pada awalnya, perilaku dan keributan murid-murid sangatlah mengganggu, namun setelah bertahun-tahun mengajar, timbul rasa kangen kalau tidak mengajar mereka, meskipun cuma libur sehari. 

Perilaku dan komentar anak-anak yang spontan dan lucu membuat saya kangen. Mereka bagaikan anak-anak saya sendiri.

Kedua, Belajar dengan rasa senang, harapan saya saat mengajar anak-anak tersebut.

Bermain dan menyanyi adalah salah dua cara menarik minat mereka. Bagi saya, belajar tidak harus menulis terus, mengerjakan tugas terus dari jam awal pelajaran sampai saat menjelang pulang sekolah. 

Learning in a fun way. Belajar dengan cara yang menyenangkan. Itu semboyan saya. 

Ketiga, Ada keakraban di antara para guru, misalnya kami sering makan bersama di kantin sekolah, bertukar saran dan pendapat untuk memecahkan solusi seputar pendidikan. 

Bagi saya, saat seperti itu sangatlah berharga. Saling memberi masukan untuk kemajuan bersama. 

Tapi... 

Ibarat dua sisi mata uang, ada yang menarik, ada yang bikin geleng-geleng kepala. 

Satu hal yang mengganggu adalah perihal murid meminta izin ke toilet yang terkesan 'seadanya'. 

'Seadanya' di sini yaitu para peserta didik meminta izin dengan cara yang kurang sopan. Menurut kacamata saya.

Misalnya, Adi (bukan nama sebenarnya) ingin pergi ke toilet untuk buang air kecil. Dia berkata, "Pak, mau kencing."

Bagaimana seandainya menurut kacamata Anda waktu mendengar kalimat minta izin seperti di atas? 

Saya tidak tahu pendapat Anda. Yang jelas, saya tidak suka mendengar kalimat minta izin seperti itu. Apalagi murid saya itu sudah kelas enam waktu saya baru masuk mengajar. 

Saya sempat bertanya pada beberapa murid yang lain dan juga beberapa guru, dan saya bingung dengan jawaban kebanyakan dari mereka. 

Versi mayoritas peserta didik, "Kami sudah biasa ngomong seperti itu, Pak. Semua guru tidak keberatan."

Versi kebanyakan guru, "Awalnya kami ajari mengucapkan "Permisi, Pak/Bu, saya mau minta izin ke kamar kecil". Tapi anak-anak ini cuma beberapa yang patuh. Kebanyakan gak nurut. Kami capek ngajarinnya. Materi belajar masih banyak. Daripada habis waktu untuk mengajari hal remeh seperti minta izin ke toilet, lebih baik fokus mengajar pelajaran sekolah."

Cara saya memecahkan masalah... 

Tugas guru bukan hanya mengajar, tapi juga mendidik. 

Untuk apa peserta didik "kaya" dalam hal intelektual, tapi "miskin" dari segi moral?

Jangan mengindahkan yang satu, tapi mengabaikan yang lain.

Saya pun berinisiatif untuk mengajarkan "sedikit" tata krama. Saya mengajarkan cara minta izin yang sopan kepada murid-murid saya. Karena saya menjabat sebagai guru bahasa Inggris, maka kalimat yang harus murid-murid ucapkan adalah kalimat-kalimat bahasa Inggris. 

Saya : "Anak-anak, sekarang ada peraturan baru. Khusus di pelajaran bahasa Inggris. Kalau kalian ingin ke toilet untuk buang air kecil atau besar, boleh. Boleh ke toilet, asal kalian mengucapkan "password"-nya. Kalau kalian bisa mengucapkan, bapak akan mengizinkan kalian untuk pergi ke toilet."

Murid-murid : "Password, Pak?"

Saya : "Iya. Password. Kata sandi. Kalau kalian mau ke toilet, boleh, tapi harus mengucapkan "password" yang akan bapak tulis di papan."

Saya pun menuliskan "password" izin ke toilet di papan tulis. 

Kalimat-kalimatnya adalah sebagai berikut :

Ask for permission to go to the toilet (Minta izin untuk pergi ke toilet)

Adi : "Excuse me, Sir. May I go to the toilet?"

Pak Anton : "Yes, you may."

--------------------------------

Adi : "Permisi, Pak.  Bolehkah saya pergi ke toilet?

Pak Anton : "Ya, silakan."

----------------------------------------------------------------

Ask for permission to enter the classroom (Minta izin untuk masuk kelas)

Adi : (knock the door three times) "Excuse me, Sir."

Pak Anton : "Come in, please."

--------------------------------

Adi : (mengetuk pintu tiga kali) "Permisi, Pak."

Pak Anton : "Silakan masuk."

Saya memberikan juga cara minta izin kalau ingin masuk kembali ke kelas. Kenapa saya memberikan cara ini juga? Karena kebanyakan murid masuk tanpa permisi. Mayoritas masuk begitu saja tanpa sepengetahuan guru, sehingga tahu-tahu si murid sudah ada di kursinya kembali!

Bagi saya, itu juga tidak sopan. "Seperti maling saja," kata saya waktu menanggapi kejadian semacam itu. 

Saya memberi contoh pengucapan terlebih dahulu.

Oya, metode ini saya terapkan pertama kali 20 tahun yang lalu ke siswa-siswi kelas 4, 5, dan 6. Karena pada waktu itu, saya hanya mengajar kelas 4, 5, dan 6. Seiring waktu berjalan, saya mengajar dari kelas 1 sampai 6, namun tetap saya menerapkan cara ini ke kelas 4, 5, dan 6.

Untuk kelas 1, 2, dan 3, saya memakai cara yang berbeda. Mungkin akan saya ceritakan di tulisan terpisah. 

Jadi, saya memberikan contoh cara mengucapkan kalimat per kalimat bahasa Inggris dengan suara yang cukup keras, tapi dengan irama perlahan. 

Lalu, saya meminta murid-murid untuk mengulangi pengucapan saya. 

Misalnya :

Pak Anton : "Repeat after me. Excuse me, Sir."

Murid-murid : "Excuse me, Sir."

...

Dan seterusnya (menyingkat penjelasan proses supaya tidak terlalu panjang).

Setelah itu, saya meminta tolong kesediaan dua-tiga murid untuk memperagakan di depan kelas supaya teman-temannya, para murid, bisa melihat contoh meminta izin ke toilet dalam bahasa Inggris. 

Mulus, lancar jaya? Oh, tidak!

Memulai suatu kebiasaan baru selalu tidak mudah. 

Ada pro-kontra, baik dari sisi peserta didik maupun guru.

Dari sisi peserta didik yang kontra, mereka berpandangan :

1. Ribet untuk pergi ke toilet

"Ah, ribet banget sih, Pak. Kita kan orang Indonesia. Bukan orang Inggris."

"Tapi kan sekarang pelajaran bahasa Inggris. Bukan sekadar belajar bahasa. Kita juga harus belajar budaya orang Inggris yang positif. Ini bagus dan akan tetap terpakai sampai kalian lulus SMA, bahkan sampai kapan pun juga."

Itu argumentasi saya pada mereka, para peserta didik. 

2. Ada yang menahan buang air kecil dan besar

Saya sudah memprediksi, pasti ada beberapa murid yang merasa tidak mampu mengucapkan kalimat-kalimat tadi, sehingga mereka menahan buang air kecil atau besar.

Makanya di awal, saya menyarankan mereka membawa buku ke hadapan saya, baca catatan "password" yang ada di buku, kemudian boleh keluar setelah saya memberi izin. 

Jadi tidak ada alasan tidak hafal atau tidak bisa. Saya tidak mempersoalkan salah atau benar dalam pengucapan di awal-awal. Yang penting, mereka berani mengucapkan "password"-nya saja, saya sudah acungi jempol. 

Menurut sisi peserta didik yang pro, mereka berpendapat :

1. Merasa para teman (murid) lebih tertib saat izin ke toilet

"Sekarang lebih teratur setelah ada password ini, Pak. Teman-teman tidak keluar-masuk kelas seenaknya."

2. Mereka mendapat apresiasi dari guru-guru yang lain

"Wah, guru-guru yang lain bilang bagus, Pak. Senang liat kami minta izin dulu; dan sebelum masuk, ketok pintu."

"Pakai bahasa Indonesia?"

"Iya lah, Pak. Guru-guru yang lain gak ngerti waktu kami pakai bahasa Inggris, hehehe."

3. Mereka mendapat apresiasi dari guru bahasa Inggris di SMP, karena menggunakan "password" tersebut 

"Wah, guru bahasa Inggris di SMP saya kaget waktu saya minta izin ke toilet pakai password yang bapak ajarkan. Ibu gurunya memuji saya di depan teman-teman sekelas, kemudian nanya saya, "Itu diajarin sama guru bahasa Inggris waktu di SD ya? Kamu di SD mana dulu?"."

Dari pihak guru, ada yang kontra, tapi tidak banyak, mungkin sekitar 10 persen saja. Mereka menganggap saya menyulitkan para murid. "Untuk ke toilet aja harus pakai password! Dalam bahasa Inggris lagi!"

Tapi guru-guru yang pro, yaitu kira-kira 90 persen mendukung. Mereka senang saya memberi "warna" baru dalam etika kesopanan bahasa Inggris yang sesuai dengan etika Indonesia. Mereka mendukung saya untuk terus "berkarya", dan mereka melihat ada yang "hilang" saat saya sudah tidak mengajar lagi di sekolah, karena mutasi atau pindah sekolah.

"Sekarang, setelah Pak Anton tidak ada, murid-murid kembali bilang, "Bu, mau kencing"," kata Bu Santi (nama samaran) waktu bertemu saya tanpa sengaja di pusat perbelanjaan sekitar dua tahun yang lalu.

Jangan hanya sekadar menyelesaikan materi ajar... 

Tidak salah kalau ingin menyelesaikan materi ajar, tapi jangan sampai lupa untuk mendidik anak, khususnya mengenai etika kesopanan.

Seberat apapun tanggung jawab, moral harus lebih didahulukan dibanding pengetahuan. Pengetahuan penting, tapi moral lebih penting.

Karena kalau moral sudah tidak baik, apa jadinya Indonesia di waktu mendatang? Bagaimana dengan masa depan negara kelak kalau dipimpin oleh orang-orang yang tidak berkelakuan baik?

Mudah-mudahan negara kita kelak tetap dipimpin oleh orang-orang yang berbudi luhur dan jujur.

Itulah doa dan harapan kita bersama.

Sumber : eramuslim.com
Sumber : eramuslim.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun