Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Apakah Anak Perlu Memiliki Smartphone?

6 Mei 2020   13:24 Diperbarui: 6 Mei 2020   13:37 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi smartphone (Sumber : pixabay.com/FunkyFocus)

"Liburan" masih berlanjut. Ada anak yang senang, ada yang tidak. Ada yang sudah bosan di rumah saja, ada yang ingin kembali belajar di sekolah.

Terlepas dari beragam perasaan peserta didik, pembelajaran daring terus berjalan. Mau tidak mau, suka tidak suka. Mau bilang apa lagi?

Di kota, tidak semua jaringan internet dalam kondisi bagus. Di desa, tidak semua mendapat fasilitas akses internet.

"Jangankan internet, listrik saja belum masuk di kampung saya," kata Robert (bukan nama sebenarnya), salah seorang teman yang berasal dari Papua. 

Di tengah ketidakpastian pendidikan saat ini, orangtua hanya bisa pasrah. 

Sekarang mereka, para orangtua, menjalankan tugas utama mereka yang sebenarnya. Sebagai pendidik. Bukan hanya mencukupi sandang, pangan, dan papan sang buah hati.

Sekarang, seperti ada tuntutan lainnya untuk memenuhi kebutuhan anak akan perlunya memiliki smartphone. 

Apakah anak perlu memiliki smartphone?

Kalimat tanya yang menjadi judul artikel ini tebersit di otak saya karena salah seorang kenalan, sebut saja Tina, tidak setuju kalau anak mereka memiliki smartphone, sedangkan suaminya setuju. 

"Kita kan kerja. Gak mungkin kalau hape-ku atau punyamu yang ditinggalkan di rumah buat dia belajar. Nanti gimana kalau kerja, hubungi bos dan lain sebagainya?" Boris (nama samaran), sang suami memberi argumen.

"Papa mau kalau Doni malah main game online terus seperti Tio, sepupunya?" Tina memberikan opini bantahan (Doni dan Tio, bukan nama sebenarnya).

"Nanti kalau ada tugas dari guru dan ujian online bagaimana? Masa mau pinjam hape punya Tio terus!" Boris masih ngotot dengan argumennya. 

Sampai sekarang, mereka masih belum memutuskan apakah anak perlu memiliki smartphone atau tidak.

Kalau saya berada dalam posisi mereka, karena anak masih berada di kelas lima SD, sebenarnya tidaklah tepat memberikan smartphone pada anak. 

Kenapa? 

Pertama, Anak akan terus bermain game online jika tidak ada yang mengawasi

Kalau kedua orangtua bekerja, dan tidak ada orang dewasa di rumah, anak bukannya belajar dan mengerjakan tugas dari guru, tapi malah main game online. 

Kedua, Anak bisa saja menonton video yang unfaedah di YouTube atau media daring lainnya tanpa adanya filter

Bagai pedang bermata dua. Bisa bermanfaat, bisa mencelakakan. Kalau tidak ada orang dewasa yang mengawasi, anak akan menonton video YouTube apa saja dengan leluasa. Mulai dari yang horror sampai prank, ngerjain orang, yang bisa berakibat mereka akan jail sama orangtua saat orangtua tiba di rumah. 

Jadi apakah anak perlu memiliki smartphone?

Melihat dua alasan di atas, mungkin Anda semua beranggapan kalau saya tidak setuju jika anak memiliki smartphone, khususnya anak SD.

Berbeda dengan anak SMP dan SMA, yang memang sudah menanjak dewasa dan mulai mengerti batasan kapan belajar dan bermain, anak usia dini masih bisa dikatakan belum mengerti sepenuhnya akan "rambu-rambu" dalam pemakaian smartphone. 

Oleh karena itu, secara pribadi, saya akan mengatakan bahwa anak tidak perlu memiliki smartphone, dalam hal ini, anak usia dini, mulai dari nol tahun sampai rentangan usia kelas 6 SD. 

Namun, karena kendala proses belajar mengajar yang "daring", sepertinya tidak bisa dielakkan, mau tidak mau, suka tidak suka, anak perlu memiliki smartphone. 

Tapi, alangkah baiknya kalau orangtua mencermati hal-hal yang berkaitan dengan itu. 

Peran orangtua berkenaan dengan kepemilikan dan penggunaan smartphone pada anak

Jangan melepaskan smartphone begitu saja pada anak, apalagi anak usia dini. Seperti gambaran yang disebut sebelumnya, smartphone ibarat pedang bermata dua. Sisi yang satu bermanfaat  sisi yang lain bisa mencederai. 

Oleh karena itu, orangtua harus turut terlibat dalam mendidik anak untuk menggunakan smartphone secara bijak. 

Bagaimana caranya? 

1. Dampingi anak saat belajar sembari menggunakan smartphone

Orangtua sebaiknya mendampingi anak sedapat mungkin saat anak sedang belajar di jam-jam yang sudah ditentukan dan pada waktu smartphone digunakan untuk belajar.

Jangan biarkan anak memegang kendali dalam menggunakan smartphone. Orang dewasa saja terkadang (atau kebanyakan) tergoda untuk membaca pesan WA, membuka media sosial, menonton video YouTube, dan lain sebagainya, saat bekerja. Apalagi anak yang masih belum dewasa.

Fokuskan anak untuk menggunakan smartphone secara bijak, yaitu hanya untuk belajar saja, di jam 9 pagi sampai jam 12 siang, misalnya. Temani anak supaya buah hati tidak beralih melihat hal-hal yang tak berhubungan dengan pelajaran di smartphone. 

2. Orangtua perlu belajar juga

Meremehkan pelajaran SD. Anggapan kebanyakan masyarakat tentang pelajaran-pelajaran SD. 

"Kan sudah di luar kepala. Gampang aja pelajaran SD," kata Tania (bukan nama sebenarnya), salah seorang kenalan yang heran kenapa saya harus mempersiapkan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). 

Pernyataan dia ini seingat saya terjadi tahun lalu. Tanggal pastinya saya sudah tidak ingat.

Waktu itu, saya langsung membantah, "Harus tetap dipersiapkan dengan baik, karena SD itu fondasi. Seperti membangun rumah. Harus kokoh dasarnya. Kalau menganggap remeh, bisa bahaya."

Saya tidak tahu, apakah opini dia tetap sama saat ini atau tidak. 

Justru dasar itu yang tersulit. Yang menganggap gampang biasanya tidak pernah terjun langsung ke PAUD, TK, atau SD. Selama ini, kebanyakan orang yang beranggapan "gampang" tadi memang tidak pernah berkecimpung di dalam dunia pendidikan anak usia dini.

Orangtua dalam hal ini perlu belajar juga. Belajar pelajaran sekolah anak; dan ikut membantu mencarikan jawaban pertanyaan di buku dan smartphone. Membantu, bukan memberikan jawaban. 

Jangan malah orangtua nonton tv atau sibuk dengan smartphone mereka sendiri. Mendampingi, tapi tidak terlibat secara aktif ya untuk apa ada di sebelah anak. 

Dengan ikut belajar juga, orangtua jadi lebih memahami kesulitan guru sewaktu mengajar anak di sekolah dan kesukaran anak dalam memahami materi pelajaran. 

3. Lebih mengarahkan anak untuk belajar dari buku atau bahan belajar fisik saat pagi dan siang hari

"Nah, bagaimana dengan kami yang sama-sama kerja, Pak?"

Pertanyaan ini tercetus dari Bu Dinda (bukan nama sebenarnya), salah satu orangtua murid yang mengeluhkan ketiadaan waktu untuk menemani anak belajar di saat sekarang ini.

Sebenarnya tidak masalah. Anda bisa mendampingi anak belajar saat malam hari. Namun, untuk di pagi dan siang hari, lebih baik Anda mengarahkan anak untuk belajar dari buku atau bahan belajar fisik lainnya. Adanya smartphone tanpa pengawasan akan berakibat anak tidak akan belajar, tapi main game online atau nonton video YouTube. 

Saya bisa bilang seperti itu, karena saya melihat langsung hal tersebut terjadi pada kebanyakan anak-anak yang sendirian di rumah tanpa kehadiran kedua orangtua yang bekerja.

Tentu saja, waktu ada ujian online di saat pagi, mau tidak mau ya anak memegang smartphone, namun di saat lainnya, di luar ujian, buku yang jadi pegangan. 

Buku, mengajar anak untuk tetap fokus belajar.

Peranan guru dalam berkomunikasi pada murid dan orangtua/wali murid

Dalam situasi sekarang, guru juga perlu menegaskan bahwa mereka sangat mengerti akan kesulitan orangtua di masa pandemi ini.

Tidak semua ibu bekerja di rumah. Ada yang harus bekerja di luar rumah, sehingga mau tidak mau, terpaksa anak dititipkan ke mertua atau kalau sudah cukup besar, semisal kelas lima SD, bisa ditinggal di rumah sendirian. 

Ada juga keluarga yang tidak begitu mampu untuk mengeluarkan dana lagi untuk membelikan smartphone bagi anak. 

Guru harus memahami, mengerti dengan latar belakang setiap murid dan orangtua/wali murid yang berbeda-beda. 

Langkah guru supaya murid dan orangtua terbantu adalah :

1. Perlu memberikan daftar apa yang harus dipelajari anak dalam satu semester atau satu tahun ajaran

Meskipun mungkin di buku pelajaran sudah ada garis besarnya, namun alangkah lebih baiknya kalau Anda sebagai guru memberikan daftar apa yang dipelajari dari setiap mata pelajaran.

Tidak perlu terlalu mendetail. Cukup poin-poin penting saja dan tuangkan dalam dua sampai tiga halaman folio. 

Anda bisa buat di aplikasi pengolah kata seperti Microsoft Word atau yang sejenis, lalu disimpan dalam bentuk Portable Digital Format (PDF). Kirim ke orangtua murid, nanti biar orangtua yang mencetak sendiri atau orangtua bisa menuliskannya kembali di atas kertas dengan menggunakan pulpen. 

Tujuannya adalah supaya orangtua bisa mendidik anak saat #studyathome.

Syukur-syukur sang guru bisa membuat ringkasan materi dalam bentuk e-book yang akan sangat membantu orangtua dalam mendidik anak di rumah.

2. Lebih mengajarkan anak ke arah proses pembelajaran keterampilan daripada sekadar "hafalan" saja

Hafalan, hafalan, dan hafalan.

Saya mungkin termasuk guru yang tidak begitu suka dengan pola pendidikan di negara kita yang sepertinya "terlalu" mengindikasikan kesuksesan pendidikan hanya dari kisaran nilai-nilai di rapor dan ijazah.

Apakah nilai sembilan itu sudah mencerminkan bahwa kemampuan berbahasa Inggris sang anak di atas rata-rata?

Itu sebagai contoh. Jawabannya jelas belum tentu. Makanya, perlu lebih ditekankan perihal menguasai keterampilan daripada sekadar mengejar nilai bagus. Takutnya, nilai bagus hanya "topeng" yang mengaburkan kemampuan yang sebenarnya. 

Hafalan penting, tapi kemampuan, keterampilan, jauh lebih penting. 

3. Lebih bertenggang hati dalam memberikan Pekerjaan Rumah 

Jangan terlalu banyak memberikan PR sehingga malah membebani peserta didik dan jawaban sedapat mungkin ada di buku pelajaran, bukan mencari di Google.

Ini berhubungan dengan pemaparan di atas. Mengurangi ketergantungan pada smartphone. Karena pada dasarnya, kebanyakan dari kita masih belum menggunakan smartphone sesuai dengan fungsinya. 

Kita lebih menekankan pada "keinginan untuk bersenang-senang", daripada "kebutuhan untuk belajar (dan mencari uang)" dari smartphone.

Perlu, namun ada batasan

Apakah anak perlu memiliki smartphone?

Perlu, namun ada batasan-batasan, seperti yang sudah kita cermati sebelumnya. Perlu adanya sinergi yang baik antara orangtua, anak, dan guru, supaya anak bisa bertumbuh menjadi pribadi yang dewasa.

Smartphone tidak bisa dielakkan lagi sebagai media belajar yang luar biasa, namun biar bagaimana pun anak harus tahu bagaimana menggunakannya secara bijak. Salah dalam menggunakan, bukan manfaat yang didapat, tapi kerugian yang diperoleh.

Buku, tetap menjadi yang utama, di segala kondisi apa pun yang ada. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun