Awal Januari 2020 lalu, seperti biasa saya pergi ke rumah saudara perempuan saya. Kakak perempuan saya sedang sibuk memasak di dapur waktu saya tiba.Â
"Tunggu sebentar ya, Ton. Sebentar lagi selesai. Tanggung," kata Mbak Nia (bukan nama sebenarnya). Suara sutil beradu dengan wajan (menurut asumsi saya) di dapur.
"Iya, mbak," jawab saya sembari mendaratkan pantat di sofa. TV menyala, menampilkan berita. Di meja tamu, ada sepiring jeruk yang mengundang selera.
"Oya, kamu sudah sarapan pagi?" tanya Mbak Nia dari dapur.Â
"Sudah," jawab saya singkat.
"Itu, ada jeruk di meja. Makan aja."
"Oya. Makasih, Mbak," jawab saya dengan girang. Memang saya sudah tergoda untuk memakan jeruk yang terhidang. Warna, tampilan, begitu fresh, menyegarkan.
Tapi tidak semua jeruk berpenampilan "menggoda". Ada beberapa jeruk yang "buruk rupa" alias tidak kinclong. Ada bercak-bercak di kulit dan warna juga tidak mengkilap.
"Manis semua itu, Ton," Mbak Nia meyakinkan saya.Â
Saya mengambil jeruk yang berpenampilan "kurang menawan". Rasa? Ternyata manis sekali. Setelah habis saya makan, saya mengambil satu lagi. Kali ini saya mengambil yang penampakannya mulus dan bersinar. Ternyata tidak seperti yang saya harapkan. Jeruk yang berpenampilan "oke" ternyata kecut. Asam.Â
Saya terpaksa menghabiskan jeruk yang "menipu" tadi dengan cepat. "Sayang. Makanan jangan dibuang," pikir saya dalam hati. Setelah Mbak Nia selesai memasak, saya bicara padanya tentang jeruk-jeruk tersebut.Â
"Kukira semua jeruk yang bagus penampakannya rasanya manis. Ternyata asam," ujarku, memberi penilaian.
"Ah, masa? Aku dapat yang manis. Coba ambil yang bagus lagi. Makan lagi," kata Mbak Nia.
Saya pun mengambil satu lagi jeruk yang berpenampilan baik. Saya mengupas dan memakannya.Â
Rasanya?
Manis.Â
Pelajaran yang bisa dipetik
Ternyata, pelajaran hidup bisa disimpulkan dari benda mati sekalipun. Jeruk mudah ditemukan dalam keseharian. Dari jeruk, ada pelajaran yang bisa dipetik.