Sang Pengamen baru saja tiba. Pulang ke "istana"-nya. Sebuah gubuk reyot dari tripleks dan seng ala kadarnya. Yang penting, dia bisa melepaskan penat dan membaringkan tubuh di alas koran yang sudah mulai koyak.Â
Dia memeriksa satu per satu senar gitarnya. Sudah mulai aus dan berkarat. Hidupnya tergantung pada gitar tua. Gitar yang entah sudah berapa tahun menemani dengan setia.
Tiba-tiba dia sadar. Dia merasa lapar. Seharian dia mengamen, tapi hasilnya tak memuaskan. Terpaksa dia berpuasa seharian. Supaya sebelum tidur, perutnya merasa kenyang, karena sudah makan.Â
Memang susah jadi orang susah. Makan pun harus dijatah. Pakai perhitungan ini itu. Yah, apa boleh buat. Memang ini jalan hidupnya. Seperti kata orang tua-tua, "Yah, dijalani aja, nak."
Dia pun mengeluarkan satu-satunya piring yang tersisa. Piring plastik warna merah muda. Tak peduli orang bilang apa. Yang penting, dia bisa makan sampai habis tak bersisa. Titik tanpa koma.Â
Bagaimana kalau tidak ada piring? Sebenarnya tidak apa. Kertas pembungkus nasi tersedia. Tapi enaknya piring tetap ada. Supaya nasi tidak berceceran kemana-mana.Â
Satu piring yang tersisa. Harta berharga setelah gitar di pojokan sana. Sang Pengamen tak bisa membayangkan bagaimana hidupnya, jika piring tak ada lagi padanya.Â
Samarinda, 24 April 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H