#BelajarDiRumahSaja masih berlanjut. Untuk di Samarinda saja, proses belajar di rumah tetap berlanjut sampai tanggal 15 April 2020. Akibat yang terlihat jelas adalah :
1. Anak sudah bosan di rumah saja
Anak bosan, karena tidak bisa bermain bersama teman-teman, dan anak mendapati kenyataan bahwa ternyata "guru di rumah" lebih sangar daripada di sekolah (menurut pengakuan beberapa murid saya lewat WA ^_^), membuat mereka rindu akan sekolah.Â
2. Guru sudah lelah dengan pembelajaran daring
Kalau ada yang bisa pakai Google Classroom, Zoom, atau aplikasi-aplikasi lain yang serupa, sangat membantu, meskipun faktor lelah dan njelimet melanda, apalagi kalau menimpa pada beberapa guru yang awam soal penggunaan aplikasi-aplikasi tersebut.Â
Sayangnya, tidak semua daerah di Indonesia mempunyai akses internet yang memadai untuk pembelajaran daring, sehingga ujung-ujungnya, WhatsApp (WA) menjadi andalan mengirim soal-soal PR yang peserta didik harus kerjakan.
Baca juga : 4 Langkah Mudah Cara "Kirim PR" untuk Guru dan Orangtua saat Corona Melanda
Capek? Tentu. Menerima "berondongan" pertanyaan dari orangtua murid dan murid perihal soal yang kurang jelas, plus memeriksa tugas murid lewat laptop (kalau punya) atau hape (kalau tidak punya laptop) membuat mata pedih tak terkira.Â
Jadi, kalau ada yang bilang, guru makan gaji buta, lebih baik tanyakan langsung ke teman-teman yang berprofesi sebagai guru, atau lihat sendiri saat mereka, para guru, "bekerja di rumah", supaya tahu kondisi yang sebenarnya. Guru-guru, kalau disuruh memilih, lebih suka mengajar langsung, tatap muka, dibanding lewat daring begini! Capek! Memeriksa tugas yang tidak sedikit! Ribet!Â
3. Orangtua yang pusing mendidik anak di rumah
Orangtua kewalahan dalam mendidik putra-putri tersayang. Bukan saja disibukkan dengan mencari nafkah, namun juga harus memastikan anak mendapat asupan gizi yang seimbang, dan membantu anak dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru-guru.
Jalan tengah bagi anak, guru, dan orangtua
Ini sekadar masukan dari saya, supaya anak, guru, dan orangtua tidak terbebani dengan tugas-tugas, PR-PR yang bertumpuk.Â
Hemat saya, biarlah masa saat ini anak juga mendapat kesempatan untuk mengembangkan talenta mereka di bidang-bidang lain di luar mata pelajaran sekolah. Dengan begitu, anak-anak mendapat wawasan baru. Bukan sekadar terus-menerus mengerjakan PR tanpa henti.
Dalam hal ini, saya pikir, karena profesi saya yang juga sebagai guru, 3 kriteria PR ideal versi saya ini bisa menjadi jalan tengah bagi semua pihak, baik itu untuk anak, guru, dan orangtua. Supaya mendapat win-win solution.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!