Sungguh aku menunggu sudah begitu lama. Lima tahun bukan waktu singkat. Tapi setahun terakhir ini kau seperti menghindar. Semua pesan sudah terkirim. Mulai dari WA, Line, Telegram, sampai pesan Fesbuk pun kujajal.Â
Semua tiada hasil. Semua sia-sia. Apakah ini memang nyata? Aku bagaikan gila menunggumu di sini. Tapi engkau bagaikan raib ditelan bumi.Â
Aku pun mencoba meneleponmu, tapi kau tak mengangkat panggilan telepon dariku.Â
Ah, mengapa kau membuatku gundah gulana? Kau sudah berjanji untuk tetap berhubungan, meskipun kita berjauhan, dipisahkan oleh lautan. Ternyata kau ingkar.Â
Entah, apakah kau telah membaca pesan-pesanku atau sengaja kau abaikan, karena kau sudah punya gebetan lain? Kalau memang seperti itu, kenapa tidak berterus terang? Kenapa membiarkan aku tetap menunggu dalam ketidakpastian?
Janganlah nanti malah datang undangan resepsi pernikahan bagai petir di siang hari bolong. Jujurlah. Kalau rasa cinta sudah tak ada, lebih baik kita sudahi cerita asmara kita. Aku rela kau bersanding dengan lelaki lain. Lebih baik seperti itu, daripada kau memberi harapan palsu padaku.Â
Entah kapan tiba balasan pesanku. Aku ingin kejujuran darimu. Biarlah aku mengalah. Memang aku cuma pegawai biasa. Gaji pas-pasan adanya. Sejak awal kulihat orangtuamu terlihat tidak setuju dengan hubungan kasih kita. Sekelebat aku mendengar mereka ingin kau menjadi istri anak teman mereka, pengusaha muda yang sukses dan kaya raya.Â
Apakah itu benar? Kalau memang begitu adanya, kita sudahi saja jalinan kasih kita. Mungkin kau bukan jodohku. Sepertinya, kita berteman saja.Â
Kalau kau tak membalas pesanku dalam tiga hari ini, berarti kau sudah tak menganggapku lagi sebagai kekasihmu. Dengan begitu, selewat tiga hari tanpa berita, hubungan cinta kita putus adanya, karena aku tak mau lagi menanti pesanmu yang entah kapan akan tiba.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H