Helda diperhadapkan dengan pilihan yang sulit.
Tetap bertahan dengan Gunawan alias Ryota atau menerima pinangan dari Mas Brian untuk menjadi calon istrinya.
"Apalagi yang kau pikirkan, Helda? Gunawan atau Ryotamu itu cuma fatamorgana," kata Bu Lili, ibunda dari Helda.
"Fatamorgana apa yang Mama maksud?"
"Percuma kamu menunggu Ryota untuk melamar, karena dia itu cuma laki-laki tanpa rencana masa depan."
"Kok Mama bilang seperti itu? Mama tahu darimana kalau Ryo seperti itu?
"Pokoknya Mama tahu. Tak perlu Mama beritahu, nanti kamu juga tahu sendiri."
Helda tambah bingung, karena di satu sisi, Mamanya benar adanya.
Ryo tidak menunjukkan keseriusan dalam hubungan.
Waktu awal-awal, mereka menjalin kasih di Samarinda dengan penuh kemesraan.
Sebenarnya, banyak meragukan waktu mereka menjalin hubungan.
"Da, emangnya gak ada cowok lain?" tanya Lusi, teman satu kos Helda.
"Maksudmu?" Helda bingung.
"Ryo itu kan sudah agak berumur. Tampilan memang masih terlihat dua puluhan lewat, tapi kenyataan kan dia udah tiga lima lewat. Belum lagi, fisiknya kan tidak sempurna. Tangan dan kaki agak berbeda dari orang kebanyakan."
"Bilang aja Ryo itu punya kaki pengkor dan tangan cacat. Gitu aja belat-belit."
"Ya, itu maksudku," Lusi menyambar pisang goreng di piring Helda. Sialan, tinggal satu, langsung diembat sama kuntil satu ini, gerutu Helda dalam hati.
"Lagian," Ternyata Lusi belum selesai, "Dia itu kan cuma kerja jadi admin. Berapa sih gaji admin? Gak seberapa."
"Kan cinta tidak hanya diukur dari uang semata."
"Ya, memang, tapi segalanya kan butuh uang. Cuma mengandalkan cinta tidak akan berjalan langgeng kalau tidak ada uang. Realistis lah."
"Gak usah ikut campur. Ini hubunganku dengan Ryo. Kamu kan gak ada hubungan keluarga denganku atau Ryo. Kamu gak berhak rese dengan hubungan kami."
"Sebagai teman, aku cuma memberikan saran. Ya, terserah kamu. Mau terus sama Ryo ya urusan kamu."
Namun Helda berpikir, merenung. Lusi sering bercanda, tapi kali ini dia ada benarnya.
Apakah memang Ryo tidak peduli akan masa depan?
Apakah Ryo serius dalam hubungan kami?
Apakah Ryo akan melamarnya?
Pertemuan pertama kali terjadi waktu hari Natal tahun lalu antara Ryo dengan orangtuanya, namun pertemuan itu tidaklah mengesankan orangtua Helda.
Ibunya tidak berkata banyak. Dia menunggu kata-kata kalau Ryo memang serius berhubungan dengannya.
Saya serius dengan anak om dan tante. Selain berkenalan, saya ingin menunjukkan niat saya, jikalau om dan tante berkenan, saya dan Helda ingin berhubungan secara serius. Ke depan, kami ingin melanjutkan ke jenjang pernikahan ....
Itu harapan Helda.
Sayangnya, tidak seperti itu yang terjadi.
Ryo tak mengatakan kalau dia benar-benar serius dengan Helda di hadapan calon mertua.
Sesenyap dia datang, sesunyi itu pula dia kembali ke Samarinda.
* * *
"Ayo, Helda. Dimakan."
Mas Brian memang laki-laki yang baik.
Dia tak pernah berperilaku kasar. Selalu menyenangkan. Sehabis ibadah, pasti mengajak beberapa anggota jemaat gereja, termasuk Helda dan orangtua, untuk makan siang bersama di restoran terdekat.
Usianya sudah tak muda lagi. Sudah mau masuk angka empat. Penampilan pun tidak tampan. Biasa-biasa saja. Namun, Brian punya karakter yang meneduhkan, ramah dan tentu saja, selalu loyal pada siapa saja.
"Pak Brian, kapan nih undangan nikahnya?" tanya Bu Dona, salah seorang jemaat.
"Wah, belum ada yang nyantol nih, Bu," jawab Brian sambil tersenyum sopan.
"Ah, masa laki-laki seganteng dan semapan Pak Brian ndak ada yang mau? Atau Pak Brian yang milih-milih?" Bu Dona mengerling sejenak ke Helda, yang jadi jengah, pipi jadi bersemu merah.
"Ya, tentu saja harus memilih yang tepat, Bu. Kan menikah itu untuk seumur hidup, sampai maut memisahkan, tidak boleh bercerai, hanya ajal yang menceraikan."
"Iya sih, Pak. Tapi kan sudah ada bidadari di depan bapak. Kenapa tidak langsung dilamar saja?" kata Bu Dona sambil mengerling ke Helda.
Helda tambah bersemu merah pipinya.
"Ayo, Bu Dona. Dimakan," Brian langsung mengalihkan topik pembicaraan ke makan kembali. Dari sudut matanya, dia sempat melirik Helda dengan tersenyum.
* * *
"Helda, saya mencari calon istri. Memang saya tahu dari ibumu, kalau kamu sudah punya pacar dan sudah berhubungan selama lima tahun. Saya tahu, kamu sudah tak sabar menjalani hubungan jarak jauh dengan Ryo.
"Jadi," Brian melanjutkan, "Kalau kamu mau meneruskan hubungan dengan Ryo, ya tidak masalah. Namun kalau kamu mau kepastian, saya bisa memberikan kepastian kalau saya akan membahagiakanmu dalam bahtera keluarga. Kalau kamu bersedia menerima saya, saya akan melamarmu tak lama. Satu atau dua bulan, kita langsung menikah. Karena terlalu lama berpacaran, bagi saya, tidak baik. Saya berjanji akan membahagiakanmu."
Helda pun memikirkan di rumah apa yang diucapkan Brian.
Brian sudah memikatnya, bukan dengan paksaan atau uang atau kuasa yang dia punya.
Brian punya rencana ke depan bersamanya, jikalau dia bersedia menjadi istri.
Ryo?
Masih tetap tidak jelas.
"Nanti saja. Belum siap."
Begitu selalu kata Ryo.
Helda sudah bosan dengan hubungan jarak jauh ini.
Helda di Tarakan, Ryo di Samarinda.
"Helda, boleh Mama masuk?" suara Bu Lili dari luar kamar.
"Ya, Ma. Masuk aja."
Bu Lili masuk, menutup pintu dan berjalan perlahan ke tempat tidur Helda. "Lagi mikirin kata-kata Brian tadi ya, Da?"
"Kok Mama tau? Mama nguping tadi ya?"
"Ya, Mama penasaran. Maaf ya, nak."
"Ya, tidak apa, Ma."
"Boleh Mama kasih saran?"
"Ya, Ma. Itu yang aku sedang butuhkan sekarang."
"Kamu terima Brian sebagai calon suami. Kan kita sudah tahu sendiri selama tiga tahun ini kalau dia itu taat beribadah, sopan, dan juga punya usaha yang maju. Hidupmu pasti akan bahagia dan sejahtera bersamanya. Tidak seperti dengan Ryo."
"Memang Mama tau soal Ryo?"
"Mama tahu, tapi Mama tidak memberitahu karena Mama pengin kamu tahu sendiri dari Ryo atau melihat sendiri.
"Tapi sepertinya Mama beritahu saja, supaya membantumu mengambil keputusan.
"Begini," kata Bu Lili. "Mama punya kenalan di Samarinda. Kebetulan dia bergereja di gereja yang sama dengan Ryo dan juga bekerja di perusahaan yang sama dengan Ryo.
"Mama tanya dia, Ryo itu setelah kerja, lakuin apa. Si Roni, anak teman Mama itu bilang kalau Ryo itu cuma main game online di laptop kantor. Memang rajin ke gereja, sebagai anggota choir, namun yah, cuma-cuma segitu-gitu aja.
"Dia bekerja juga tidak menonjol. Biasa aja sebagai tenaga administrasi. Setelah kerja; dari jam 6 sampai jam 12 malam, main game online dan baca-baca artikel di internet tentang kartun-kartun jepang seperti Naruto, Samurai X dan lainnya.
"Dengar begitu kan sudah terlihat kalau dia tidak berpikir ke masa depan. Masa depan bersama kamu dalam keluarga kan butuh biaya besar. Harusnya seperti Brian itu. Rintis usaha atau punya bisnis online. Tidak tergantung pada gaji bulanan. Untuk seorang bujangan, dua juta setengah mungkin lebih dari cukup. Kalau sudah berkeluarga, apa masih cukup dengan uang segitu?" Bu Lili mengakhiri. Setelah lama diam, dan Helda tidak memberikan tanggapan, Bu Lili berkata lagi, "Semuanya terserah kamu, Da. Nanti kan kamu yang menjalani kehidupan setelah menikah. Jadi pilihlah dengan hati-hati. Jangan sampai salah pilih. Nanti menyesal."
"Ya, Ma. Makasih sarannya."
"Oke. Mama tinggal tidur ya. Jangan terlalu malam tidurnya, Da."
"Ya, Ma."
Setelah ibunya keluar, Helda merenung. Tak lama, dia mengambil hp, mengetik sebentar ke Ryo dan Brian, lalu mengirim pesan berbeda ke kedua laki-laki.
Ketika harus memilih, mungkin ada yang tersakiti, namun lebih baik jujur daripada ada dusta.
Setelah selesai mengirim pesan ke Ryo dan Brian, Helda mematikan hp lalu merebahkan badan di tempat tidur.
"Ketika harus memilih, memang tak mudah kalau menyangkut masa depan. Semoga ini yang terbaik untuk semua," pikir Helda.
Helda pun menutup mata untuk beristirahat.
Dalam mimpi, dia berpakaian putih, akan menikah dengan ....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H