Apakah dia memang tak pantas untuk berteman dengan siapa saja?
Apakah dia memang ditakdirkan untuk hidup seorang diri?
Apakah sesudah dia tua nanti, dia akan terlantar dan tak ada yang mengurusnya?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu mengusik benak Bu Murni Handoko. Indra memang punya keterbatasan. Sebagai penderita epilepsi, sebenarnya bisa dikatakan dia tak bisa berpikir dan bernalar secara benar. Tapi, dalam keterbatasannya, dia masih punya keinginan untuk fight. Indra bisa bekerja, meskipun cuma sebagai sales. Memang cuma itu yang bisa Indra lakukan dan sukai. Cuma itu. Indra yang memilih untuk menjadi penjual keliling. Baju, jam tangan, perhiasan, apa saja. Yang penting bisa jadi duit.
Bu Murni Handoko memang pusing dengan kelakuan anak pertamanya ini. Buah cinta pertama dengan suami tercinta yang sekarang telah tiada. Berbeda seratus delapan puluh derajat, Sang Suami, Edi Handoko seorang pengacara yang piawai. Tentu saja, sebagai seorang pengacara handal, dia menginginkan keturunan yang mumpuni seperti dirinya, kalau bisa melebihi dirinya.
Pintar, rajin, taat pada orangtua, dan hal-hal yang baik lainnya.
Nyatanya?
Segala hal bertolak belakang dengan harapan yang ingin diraih. Indra, anak laki-laki yang diharapkan menjadi tulang punggung keluarga dan juga penerus marga keluarga mempunyai penyakit yang tak tersembuhkan. Epilepsi. Ayan. Tentu saja sudah tak mungkin diharapkan.
Anak kedua? Rosa, anak perempuan. Toh, nanti setelah menikah, dia akan ikut suami dan menyandang gelar Bu Hadi atau Bu Dani atau entah apa. Mengikuti nama suami dan fokus ke keluarga suaminya.
David, sebagai anak laki-laki kedua dan anak bungsu dalam keluarga, normal secara fisik dan mental, tapi dia pun ternyata tak bisa memenuhi harapan Pak Handoko. David tidak mau sekolah lagi. Padahal, apa sih susahnya sekolah sampai lulus SMA? Lulusan SMP bisa apa? David cuma sampai kelas sepuluh SMA saja, setelah itu dia bubar jalan! Tidak mau sekolah lagi. "Malas," begitu alasannya.
Indra cuma jadi salesman, David cuma di rumah, menonton tv, main gitar atau bersantai. Hanya Rosa, yang tak diperhitungkan sama sekali, ternyata mempunyai semangat belajar dan berusaha yang luar biasa. Paling tidak, Pak Handoko, waktu dia dipanggil Tuhan, dia masih bisa tersenyum. Rosa bisa diandalkan, meskipun dia juga sibuk mengurus keluarganya.