Sempat sulit untuk memaknai kampung halaman bagi saya. Di manakah kampung halaman itu? Di Garut, Jawa Barat, tempat Bapak berasal, dilahirkan dan dibesarkankah? Atau di Ponorogo, Jawa Timur, tempat Ibu berasal, dilahirkan dan memiliki keluarga besar? Atau di Pulau Buru, Maluku, tempat saya dilahirkan, mengenyam pendidikan dan memiliki masa lalu yang disebut kenangan? Perasaan tersebut muncul saat merantau ke Ambon hingga membangun rumah di sana dan sungguh merasa pulang adalah jika berada di Ambon, bukan tempat asal usul orang tua dan di mana saya dilahirkan.
Namun tidak mampu pula untuk dipungkiri bahwa merindu akan kenangan masa lalu itu ada. Walau tidak pernah ingin untuk diulangi, tetapi mengenangnya adalah sesuatu bak memutar film dokumenter. Masih teringat jelas saya membawa beberapa termos es di stir sepeda untuk dibawa ke kios-kios demi rupiah. Tak pernah luput dari ingatan bagaimana kaki terendam lumpur dan kepala terpapar terik matahari untuk ikut membantu kerja di sawah. Kadang tersenyum kecut ketika mengingat pernah hujan-hujanan di hutan untuk ikut menggembala sapi. Sesuatu yang terus terkenang tetapi tak ingin terulang.
Masih sangat lekat di dalam kepala tentang seorang gadis kecil dan dekil itu diam-diam merajut mimpi besar yang cemerlang. Gadis yang setiap hari ke sekolah mengayuh sepeda itu meyakini kelak akan mengubah sepeda menjadi pesawat terbang untuk ditumpanginya. Dia juga menyakini kelak sawah dan hutan tempatnya membantu bekerja dengan pakaian berlumpur  akan membawanya bekerja ke kantor yang pegawainya mengenakan pakaian bersih. Semua itu diimpikannya diam-diam tidak ada yang tahu walau hanya seorang.
Semua kenangan itu terjadi di Pulau Buru, salah satu gugus pulau di Provinsi Maluku. Maka di situlah saya sadar, bukan rumah yang saya bangun tempat pulang, tetapi pulang adalah di mana jutaan kenangan yang kini menjadikan saya menjadi seseorang. Pulang adalah tempat di mana saya dilahirkan, dibesarkan dan menumpuk sejuta impian untuk terkabulkan. Â
Orang Pulau Buru walau tak berdarah Buru
Ketika bertandang keluar dari Provinsi Maluku dan ditanya, "Asli mana, Mbak?" maka saya akan menjawab, "Saya orang Pulau Buru." Mungkin orang lain akan merasa ganjil ketika menyadari bahwa saya tidak memiliki kontur wajah orang Pulau Buru. Namun saya tetap akan kukuh mengatakan bahwa saya orang Pulau Buru dan Pulau Buru adalah kampung halaman saya.
Pulau Buru tampa putus pusar istilah orang Pulau Buru untuk sebutan tempat dilahirkan. Dari istilah itulah, disadari bahwa di sinilah kampung halaman untuk pulang dan mengenang kerinduan.
Jutaan kenangan yang tertanam dan tumbuh di Pulau Buru tidak mampu dibayar dengan sesuksesan apapun di tanah rantau. Aset properti dan usaha di rantau rela untuk ditinggal dulu demi pulang ke kampung halaman.
Kembali pulang demi pengabdian
Setelah lulus SMA, saya merantau untuk melanjutkan pendidikan di Universitas Pattimura, Ambon. Kota Ambon berhasil membuat nyaman, merintis usaha, memperoleh pekerjaan, membangun rumah dan lain sebagainya. Terhitung 13 tahun lamanya berdomisili di Kota Manise tersebut. Bahkan selama itu belum tentu setahun sekali pulang ke Pulau Buru.
Hingga tiba saatnya tergugah untuk menggunakan kesempatan tes CPNS. Memilih formasi penerimaan yang ada di Pemerintah Kabupaten Buru menjadi sasaran kala itu. Entah apa yang memanggil hati untuk tes dengan formasi yang disediakan Pemkab Buru. Reflek dan spontanitas membawa untuk mendaftar di formasi kampung halaman itu.
Takdir membawa pulang dalam pengabdian ketika lolos tes CPNS lingkup Pemkab Buru. Mau tidak mau, ditinggal semua yang sudah diperjuangkan di Kota Ambon. Pergi dari Pulau Buru demi sebuah mimpi, dan 13 tahun kemudian kembali demi mengabdi.