Pengadilan Negeri (PN) Palembang kembali menggelar sidang kasus dugaan peredaran pupuk tanpa izin resmi dengan terdakwa Ahmad Effendy Noor, Senin (18/11/2024). Sidang kali ini memasuki agenda pemeriksaan saksi-saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejati Sumsel.
Lima Saksi Hadir, Termasuk Dua Polisi yang Tangkap Terdakwa
Dalam sidang, JPU menghadirkan lima saksi: dua dari kepolisian, dua dari pihak toko, dan satu dari distributor. Ayu dan Paisal, saksi dari kepolisian, memberikan kesaksian bahwa terdakwa ditangkap di Toko Langgeng Juno Tani, Banyuasin, pada 25 Desember 2022. Dari penangkapan tersebut, disita 300 ton pupuk sebagai barang bukti.
Namun, fakta menarik muncul. Saat hakim menanyakan apakah pupuk tersebut palsu, saksi polisi menjelaskan bahwa pupuk tersebut tidak palsu dan kondisinya baik.
Izin Edar Bermasalah, Bukan Barang Palsu
Masalahnya, pupuk dengan merek Avatara yang diedarkan oleh terdakwa memiliki izin edar yang telah habis sejak 2014. Kuasa hukum Ahmad Effendy Noor membantah pernyataan ini dengan menunjukkan bukti pembaruan izin edar dan uji efektivitas pupuk di Universitas Padjadjaran (Unpad).
"Klien kami sudah mengurus perizinan sejak 2020. Prosesnya panjang dan mahal, mencapai Rp40 juta untuk satu surat izin. Semua uji coba ke petani berhasil dan tidak ada petani yang dirugikan," jelas Adi Bagus, kuasa hukum terdakwa.
Dugaan Kriminalisasi Terhadap Pengusaha Lokal?
Kuasa hukum menilai kasus ini seharusnya masuk ranah perdata, bukan pidana. "Ini soal administrasi izin, bukan kriminal. Bahkan, saat pemusnahan pupuk 300 ton, ada petugas TPA yang mempertanyakan kenapa pupuk tidak dibagikan ke petani yang membutuhkan," tambah Adi.
Menurutnya, Ahmad Effendy Noor, yang kini bekerja di PT. Nividia Pratama Katulistiwa, hanya berniat membantu petani meningkatkan hasil panen. "Klien kami justru merasa dikriminalisasi. Ia datang ke Palembang atas undangan, bukan menawarkan pupuk tanpa izin," tegasnya.