Kasus nikah kilat yang dilakukan oleh Bupati Garut, Aceng Fikri tengah menjadi sorotan publik akhir-akhir ini dan kini kasus tersebut telah memasuki babak baru yakni laporan dari panitia khusus (pansus) yang dibentuk oleh DPRD Garut memberikan hasil investigasi terhadap kasus Aceng Fikri melalui rapat paripurna pada hari rabu tanggal 19 Desember 2012 di kantor DPRD Garut. Sementara itu, ribuan orang melakukan aksi unjuk rasa yang terkonsentrasi di depan gedung Bupati dan kantor DPRD garut yang menuntut agar Aceng Fikri segera mudur dari jabatanya sebagai Bupati Garut.
Rapat paripurna DPRD Garut mengagendakan temuan pansus membacakan hasil investigasinya terkait kasus nikah kilat yang dilakukan oleh Aceng Fikri. Pansus menilai bahwa Aceng Fikri bersalah karena telah melakukan nikah siri tanpa sepengetahuan istri pertamanya.
Suasana sidang paripurna tiba-tiba ricuh ketika Ketua DPRD Garut Ahmad Bajuri meminta agar rapat dilanjutkan besok hari dengan agenda penyampaian pandangan fraksi atas temuan pansus. Sontak saja, hal ini memancing emosi para pengunjuk rasa yang sedari tadi melihat jalannya yang tidak puas atas pernyataan pimpinan sidang. Namun keputusan sudah disepakati bahwa akan dilaksanakan sidang lanjutan.
Sikap publik yang gencar sekali menyoroti kasus nikah kilat Aceng Fikri sebagaimana media massa juga sangat antusias untuk memberitakan kasus tersebut. Kasus ini memang begitu seksi sehingga berbagai opini muncul kepermukaan, baik dari kalangan masyarakat biasa, tokoh agama, kaum intelektual bahkan sampai presiden turut serta memberikan komentar agar kasus ini segera diselesaikan.
Titik berat tulisan ini adalah perihal bagaimana peran opini publik terhadap kasus nikah kilat Aceng Fikri, terlebih menyoroti desakan-desakan melaluui aksi unjuk rasa yang mencapai klimaksnya terjadi pada hari rabu tanggal 19 Desember 2012.
Di negara yang menganut sistem demokrasi, Opini Publik dianggap sebagai pilar keempat kekuasaan setelah legislatif, eksekutif dan yudikatif. Seperti halnya di Indonesia yang menganut sistem trias politika dari montesqueu, dimana terdapat badan-badan legislatif seperti MPR dan DPR, badan eksekutif seperti presiden dan badan yudikatif seperti Mahkamah Agung. Sebagai negara demokrasi, Opini Publik dapat menjadi pilar terpenting dalam kehidupan pemerintahan di Indonesia. Sebab, Opini Publik merupakan pendapat, sikap, ramalan, pendirian atau harapan rata-rata masyarakat, tentang suatu hal yang berhubungan dengan kepentingan umum. Opini publik memang tidak dapat dilepaskan dari sistem politik demokrasi.
John locke berpendapat bahwa opini publik merupakan kelompok orang yang memberikan persetujuan atas suatu rencana undang-undang. Menurutnya, orang-orang ini sebenarnya tidak mempunyai wewenang untuk membuat undang-undang, akan tetapi dengan diam-diam menyatakan persetujuannya atau penolakannya.
Dalam kasus Aceng Fikri dimana desakan-desakan publik santer terdengar lewat aksi unjuk rasa agar Aceng fikri mundur dari jabatannya, terakhir aksi unjuk rasa terjadi saat sidang paripurna dengan agenda mendengarkan hasil investigasi pansus yang dibentuk oleh DPRD. Disini tampak bahwa para pengunjuk rasa berupaya untuk memberikan aspirasinya dan berharap agar keputuasan DPRD sesuai dengan apa yang diinginkan oleh mereka yakni mundurnya sang bupati.
Media massa juga memiliki peranan penting dalam mengembangkan opini publik sebagai kekuatan besar. Media massa dalam hal ini berfungsi sebagai sumber komunikasi politik yang ikut berpengaruh pada opini publik, dimana opini publik mempengaruhi apa yang dilakukan oleh pembuat kebijakan yakni pemerintah dengan menggunakan budaya politik. Seorang peneliti, mengatakan bahwa "barangkali pengaruh opini publik yang terbesar terhadap pembuatan keputusan pada pemerintah" ialah "dimilikinya budaya politik bersama oleh rakyat untuk memegang jabatan pemerintah".
Dalam mekanisme sistem demokrasi, publik merupakan penguasa, setiap keputusan-keputusan politik yang dihasilkan dan mengikat semua orang haruslah diketahui terlebih dahulu oleh publik. Publik tentunya akan merespon keputusan tersebut, apakah sesuai dengan aspirasi mereka atau tidak. Respon tersebut kemudian menjadi pedoman bagi para elit politik untuk memperbaiki keputusan yang mereka keluarkan, begitu seterusnya hingga publik akan menerima keputusan tersebut.
Terhadap semua itu, tentunya medialah yang berperan sebagai sarana perantara dalam menginformasikan semua keputusan yang dihasilkan elit dan untuk mendapatkan respon dari publik, agar terjadi kesempurnaan atas keputusan tersebut.