Di Indonesia sendiri kredit mikro sebenarnya memiliki sejarah yang panjang. Kajian historis keberadaan keuangan mikro berdasarkan catatan dapat dibagi menjadi dua periode, yakni jaman penjajahan dan jaman kemerdekaan. Selama masa penjajahan Belanda, sistem keuangan dikontrol oleh pemerintah Hindia Belanda melalui beberapa bank yang mereka dirikan. Pada akhir abad ke-19, sekitar bulan Desember 1895 atas prakarsa perorangan didirikan semacam. Lembaga Perkreditan Rakyat, tercatat Raden Bei Wiriaatmadja seorang ribumi yang menjabat patih Purwokerto mendirikan “Hulp en Spaarbank der Inlandsche Bestuurs Ambtenaren” atau Bank Bantuan dan Tabungan pegawai. Selanjutnya institusi tersebut diperbaiki oleh seorang Belanda bernama De Wolf va n Wester rode yang menguba hnya menjadi Bank Kredit Rakyat atau Bank Rakyat.Pendirian Bank Rakyat ini kemudian diikuti oleh daerah-daerah lain di Pulau Jawa.
Pada periode yang hampir bersamaan yakni sekitar tahun 1898, desa-desa di Jawa terutama sentra penghasil beras mendirikan Lumbung Desa yang merupakan lembaga simpan pinjam dengan menggunakan komoditas padi sebagai instrumen simpan pinjam. Seiring berkembangnya wilayah pedesaan dan juga peredaran uang semakin dikenal oleh masyarakat desa, pada tahun 1904 didirikan Bank Desa, yang selanjutnya dikenal sebagai Badan Kredit Desa (BKD).Bank Rakyat pada tahun 1934 diga bung kedalam “Algemene Volkscredietbank” (AVB) yang bertujuan disamping meningkatkan kesejahteraan rakyat pedesaan melalui bantuan kredit, namun juga mencari keuntungan. Setelah kemerdekaan Indonesia AVB inilah yang berubah menja di Bank Rakya Indonesia (BRI) dan beroperasi sebagai bank komersial yang tetap melayani masyarakat pedesaan dengan menyalurkan kredit mikro serta membuka unit-unit di pedesaan. Sehingga tidak mengherankan melihat BRI menjadi bank besar dengan cakupan jangkauan wilayah yang luas serta tetap berkomitmen dalam pemberian kredit mikro, jika kita melihat sejarah panjang pendirian bank tersebut.
Penggabungan Bank Rakyat menjadi AVB tidak membuat Badan Kredit Desa menghentikan usahanya, namun tetap berkembang seiring dengan perkembangan jaman, namun selama masa kemerdekaan Badan Kredit Desa yang terdiri dari Bank Desa dan Lumbung Desa bertransformasi menjadi lembaga-lembaga perkreditan rakyat seperti Lembaga Perkreditan kecamatan dan Bank Karya Produksi Desa di Jawa Barat, Badan Kredit Kecamatan di Jawa Tengah, Kredit Usaha Rakyat Kecil di Jawa Timur. Beberapa lembaga bertransformasi menjadi lembaga keuangan yang berdasarkan ikatan adat seperti Lembaga Perkreditan Desa di Bali dan Lumbung Pitih Nagari di Sumatera Barat.
Peran pemerintah Indonesia dalam pengembangan kredit mikro selama masa presiden Sukarno tidak banyak, karena pada masa-masa tersebut terjadi pergolakan politik dan juga Republik Indonesia mengalami masa perang mempertahankan kemerdekaan. Pada kurun periode 1957 sampai 1965,sistem keuangan formal sangat dikekang dengan kebijakan yang berhasil menghapuskan segala kepemilikan atau keterlibatan orang asing dalam sistem perbankan dan nasonalisasi bank-bank yang dulu menjadi milik Belandada masa Presiden Suharto, setelah mulai stabilnya kondisi politik, maka pemerintah mulai menaruh perhatian besar pada pembangunan pedesaan.
Di awal periode 1970an pemerintah mendirikan bank di setiap propinsi, yang pada saat itu terdapat 27 propinsi. Pemerintah juga memberikan keleluasaan dalam mendirikan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sehingga di awal periode tersebut terdapat sekitar 300 BPR di seluruh Indonesia. Pada periode awal orde baru ini juga mulai terdapat suatu jenis layanan keuangan mikro berupa bantuan dana subsidi yang diberikan oleh pemerintah sebagai bagian dari program intensifikasi beras.Program ini disebut Bimbingan Massal (Bimas).Bimas dijadikan proyek percontohan pada tahun 1964 yang ditandai dengan dibentuknya Badan Usaha Unit. Desa (BUUD) dan Koperasi Unit Desa (KUD) serta BRI Unit Desa dalam upaya memperluas input produksi dan kredit bagi petani.
Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP) yang didirikan awal periode 1970 untuk mengelompokkan lembaga keuangan mikro non-bank yang terdapat disetiap propinsi. LDKP merupakan istilah generik untuk beberapa jenis lembaga kredit dan simpanan kecil yang ada, sesuai dengan daerah masing-masing, di banyak propinsi. Pada akhir periode 1970an, sebanyak hampir 300 lembaga kredit seperti ini terdapat di Indonesia. Pada saat itu lembaga-lembaga ini diperlakukan sebagai lembaga keuangan non-bank, dan berdasarkan Undang-Undang Perbankan Tahun 1967 tidak memenuhi persyaratan untuk memperoleh kredit likuiditas dari Bank Indonesia (BI), dan oleh sebab itu dana dari lembaga ini harus dihimpun dari sumber lain. Lembaga-lembaga ini juga tidak diijinkan untuk memobilisasi dana dalam bentuk simpanan dan tidak terikat pada aturan suku bunga dari BI, sehingga mereka dapat menentukan suku bunga sendiri. Hingga pada saat ini masih banyak yang berdiri di Indonesia, diantaranya yang berdiri pada awal periode tersebut adalah Badan Kredit Kecamatan (BKK) di Jawa Tengah, Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK) di Jawa Barat, Lumbung Pitih Nagari (LPN) diSumatera Barat yang kepemilikannya oleh lembaga adat.
Pada periode 1980an berdiri Kredit Usaha. Rakyat Kecil (KURK) di Jawa Timur (Tahun 1984) dan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali. pada periode 1980an akhirnya Indonesia mencapai swasembada beras. Pada periode ini tepatnya sekitar tahun 1983, dengan melihat peran serta pengalaman BRI Unit Desa dalam menangani kredit mikro, pemerintah memutuskan mengubahnya menjadi sistem perbankan komersial. Sistem baru ini memberi keleluasaan kepada BRI Unit Desa guna menerapkan suatu aturan atau kebijakan yang fleksibel terkait tingkat bunga, baik pada tabungan maupun pinjaman. Pada tahun 1984 BRI mulai meluncurkan Kredit Umum Pedesaan (Kupedes) yang ditawarkan melalui jaringan unit desanya diikuti Simpedes (Simpanan Pedesaan) sejak tahun 1985. Suatu perubahan yang cukup berarti terjadi tahun 1988, melalui Paket Oktober (Pakto) 88, pemerintah memutuskan semua jenis lembaga keuangan non bank (diantaranya :BKD, BKK, LPK, LPN, KURK dan juga LPD) untuk diberikan kesempatan selama jangka waktu dua tahun untuk berubah menjadi BPR. Peraturan ini cukup menyulitkan lembaga keuangan di pedesaan, sehingga terbitlah Keputusan Pemerintah Maret 1989 (Pakmar 89) yang memutuskan untuk menghapus aturan tersebut untuk mengurangi kesulitan yang dihadapi lembaga kredit pedesaan dan juga BPR yang berasal dari transformasi lembaga tersebut. Hingga saat ini berdasarkan Undang-Undang Perbankan tahun 1992 dan Amandemennya yakni Undang-Undang tahun 1998, ada dua kategori bank di Indonesia yakni Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Oleh karena adanya Pakto 88, dan Pakmar 89 banyak BPR yang berasal dari transformasi lembaga kredit pedesaan, sedangkan terdapat juga BPR yang mengajukan ijin baru dan bukan berasal dari transformasi lembaga kredit pedesaan. Undang-Undang Perbankan tahun 1998 pasal 58 mengakui keberadaan lembaga kredit pedesaan, dengan memberikan kesempatan lembaga tersebut untuk berubah menjadi BPR sesuai dengan syarat dan ketentuan yang berlakuDengan adanya aturan-aturan ini lembaga kredit pedesaan yang berubah menjadi BPR memiliki cakupan yang lebih luas. Ter utama dengan diperbolehkannya membuka cabang di kota lain dalam satu Propinsi.
Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1992 yang mengatur pelaksanaan Undang-Undang Perbankan tersebut tidak secara jelas mengatur mengenai masalah lembaga kredit pedesaan. Namun peraturan tersebut memberikan kemudahan bagi banyak lembaga keuangan non-bank untuk tidak harus berubah menjadi BPR. Sedangkan bagi lembaga yang sudah bertransformasi menjadi BPR diberikan kemudahan untuk menyesuaikan diri dengan peraturan-peraturan BPR dalam periode waktu lima tahun. Pada saat krisis finansial dan moneter yang melanda Indonesia tahun 1997 dan 1998 yang dibarengi dengan mundurnya presiden Suharto,llembaga keuangan bank di Indonesia mengalami kehancuran dan terlilit hutang yang parah, namun justru bank umum yang memfokuskan usahanya pada kredit mikro dan juga lembaga keuangan pedesaan tidak terpengaruh banyak oleh krisis tersebut.
Hal ini menyebabkan banyak bank umum baik bank umum nasional maupun campuran dan asing yang mulai serius menggarap potensi kredit mikro. Bank yang diantaranya menggarap segmen ini adalah Bank Danamon dengan Danamon Simpan Pinjam (DSP), serta Bukopin dengan program Swamitra. Periode akhir 1990an ini juga ditandai dengan banyak munculnya bank umum yang memang mengkhususkan usahanya pada segmen mikro. Walaupun kondisi politik mulai stabil, namun dengan tidak adanya pemegang kekuasaan pemerintah yang bertahan lama seperti pada periode Presiden Suharto menyebabkan program pemerintah pada segmen ini hanya melanjutkan program pemerintahan presiden Suharto. Dalam artian tidak ada program yang betul-betul baru dari pemerintah setelahera Suharto.Periode tahun 2000an ditandai dengan munculnya jenis lembaga keuangan baru yang berlandaskan prinsip hukum Islam yakni lembaga syariah. Banyak bank umum yang membentuk unit syariah ataupun membuat bank baru dengan berlandaskan prinsip syariah. Prinsip syariah sendiri sebenarnya mirip dengan jenis pembiayaan modal ventura, dengan sistem pembagian keuntungan bagi hasil, tidak berlandaskan bunga.
Pada awal tahun 2000, pemerintah melalui kementerian terkait membentuk sebuah forum bernama Gerakan Bersama Pengembangan Keuangan Mikro Indonesia atau biasa disebut “Gema PKM” yang merupakan sebuah gerakan yang bertujuan untuk lebih meningkatkan cakupan dan kapitalisasi dana untuk keuangan mikro. Forum tersebut pendesak BI untuk menerbitkan sebuah peraturan yang khusus mengatur tentang keberadaan dan pengelolaan lembaga keuangan mikro. Pada tahun 2001, draft Rancangan Undang Undang (RUU) Lembaga Keuangan Mikro diserahkan oleh BI ke Menteri Keuangan, yang kemudian meneruskannya ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) guna disahkan. Namun tidak ada tanda –tanda dari DPR untuk segera mengesahkan aturan tersebut. Hal ini membuat BI pada tahun 2003 bersama sebuah lembaga dari Jerman bernama romotion of Small Financial Institution (Pro-Fi) yang merupakan rekanan BI dalam mengelola LKM menerbitkan sebuah kajian dan rumusan tentang pengelolaan dan pengembangan LKM Kajian tersebut menyarankan pemerintah untuk menghilangkan segala sesuatu yang menghambat pengembangan LKM dan menyusun serta menerbitkan peraturan perundangan yang khusus mengatur tentang keberadaan dan pengelolaan LKM.
Saran tersebut adalah (1) menghilangkan bentuk program bantuan dana bersubsidi dan (2) melegalkan lembaga keuangan mikro non bank/non koperasi serta memperluas akses cakupan pelayanan termasuk simpanan atau tabungan dan juga wilayah operasional LKM Upaya ini akhirnya berhasil merumuskan sebuah Rancangan Undang Undang (RUU) tentang Lembaga Keuangan Mikro pada tahun 2010. Dalam proses pengesahannya RUU ini ternyata juga banyak ditentang oleh LKM sendiri terutama LKM yang berbasiskan komunitas adat seperti LPD di Bali, karena dianggap tidak sesuai dengan lembaga tersebut yang berlandaskan nilai-nilai komunal desa adat di Bali.