Mohon tunggu...
Ronald Haloho
Ronald Haloho Mohon Tunggu... Guru - Guru

Guru di SMK N.1 Pantai Cermin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Oh...Tidak, Gas Pertamina Non-Subsidi 12kg Naik, Petronas 16kg Semakin Berjaya

17 September 2014   12:55 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:27 563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oh...Tidak, Gas Pertamina Non-Subsidi 12kg Naik, Petronas 16kg Semakin Berjaya

Sekilas kedua klausa tersebut tidak mempunyai keterkaitan jika kita lihat secara kasat mata dan wilayah negara. Namun kedua kalimat tersebut sudah terjadi di daerah yang berbatasan langsung dengan Sabah dan Serawak. Salah satu daerah yang menjadi contoh adalah kecamatan Entikong, salah satu kecamatan di kabupaten Sanggau, propinsi Kalimantan Barat yang menjadi salah satu pintu gerbang perbatasan Indonesia- Malaysia. Pandangan bahwa gas elpiji yang dimiliki perusahaan Malaysia, Petronas lebih baik dari yang dikeluarkan oleh Pertamina sudah menjadi pandang yang ada dibenak masyarakat. Bahkan sebelum diberlakukannya konversi dari minyak tanah ke gas subsidi 3kg, tabung gas 12kg sangat sulit ditemukan di daerah Entikong. Secara umum ada dua jenis gas yang diperjualbelikan yaitu gas dari Petronas dan Shell. Melalui program subsidi gas 3kg yang dimulai pada tahun 2007, Pertamina mulai merambah ekonomi masyarakat kecil di sekitar Entikong. Usaha-usaha dagang dan toko-toko kelontong mulai memperjualbelikan gas dalam negeri. Tujuanya adalah membantu meringankan beban masyarakat ekonomi bawah dalam pemakaian gas. Sesungguhnya program ini berjalan dengan sangat baik, namun masih belum mampu memutus dominasi gas elpiji 16kg yang dikeluarkan oleh Petronas. Pandang- pandangan masyarakat tentang gas elpiji petronas yang lebih baik dari as elpiji 12kg pertamina masih sulit diubah.

Kebijakan pemerintah yang akan menaikkan harga elpiji non-subsidi 12kg secara bertahap direncanakan dimulai bulan September ini tentu akan menjadi semakin berjayanya pemakaian gas elpiji Petronas di wilayah Indonesia. Di satu sisi, pemerintah memiliki alasan yang baik untuk menaikkan harga demi mengurangi beban kerugian, namun di pihak lain masyarakat juga memiliki alasan yang masuk akal mengapa masih memilih gas elpiji Petronas.

Pandangan Masyarakat Perbatasan

Masyarakat di wilayah kecamatan Entikong masih menggunakan elpiji 16kg dari Malaysia yang dikeluarkan oleh Petronas. Hal ini bukan tanpa sebab, alasan klasik yang pertama mengapa masyarakat disana lebih memilih Petronas dari pada Pertamina adalah bobot. Petronas memiliki tabung gas elpiji 16kg dan Pertamina memiliki tabung gas 12kg, jika dibandingkan bobotnya, masyarakat memilih Petronas bukan karena lebih berat namun isi yang terkandung di dalamnya lebih padat. Pandangan kinerja yang kurang baik pada saat pengisian tabung gas elpiji 12kg meskipun- belum bisa dibuktikan kebenarannya- tetap menjadi perbincangan utama. Jika ditanya langsung maka masyarakat akan berkata “kalau petronas isinya betul-betul 16kg, kalau elpiji dari pemerintah tidak sampai 12kg.

Alasan berikutnya adalah kualitas gas. Pandangan masyarakat bahwa kualitas gas yang dihasilkan oleh tabung gas Petronas memiliki kualitas lebih baik dari gas 12kg Pertamina. Anggapan ini dilontarkan berdasarkan pengalaman masyarakan mengkonsumsi elpiji petronas yang sudah terjadi turun temurun meskipun sesungguhnya kualitas gas yag dikeluarkan dari elpiji 12kg Pertamina memiliki kualitas yang baik. Namun masyarakat sudah tersugesti untuk lebih memilih gas elpiji 16kg Petronas.

Alasan terakhir adalah kestabilan harga dan ketersediaan. Kecendrungan penduduk di Entikong memilih elpiji Petronas dibandingkan Pertamina adalah dikarenakan harga Petronas yang cenderung tidak terlalu mahal dan stok yang selalu tersedia. Jika dibandingkan dengan harga gas elpiji 12kg yang harganya berkisar Rp 93.000-172.000 maka dapat dikalkulasikan bahwa harga gas perkilogramnya adalah Rp 7.700-14.300. sedangkan harga elpiji 16kg petronas berda dikisaran harga Rp 170.000-190.000 atau perkilogramnya sekitar Rp 10.700-11.800. Maksud dari ketersediaan disini adalah penduduk yang mempunyai usaha jual-beli gas elpiji lebih memilih memperdagangkan gas elpiji 16kg Petronas. Mereka masih sulit mendapatkan pasokan elpiji 12kg Pertamina yang dikarenakan lokasi yang lebih dekat ke negara tetanggan bahkan dibandingkan ke ibukota kabupaten. Sebenarnya harga dan ketersediaan gas elpiji Petronas bukan tanpa halangan. Pos pengawasan dan bea cukai perbatasan selalu memeriksa perdagangan gas Malaysia ini, namun penyelundupan dan permintaan masyarakat yang terlalu besar tidak mampu diblokir secara total.

Upaya Yang Harus Dilakukan Pemerintah

Pemerintah melalui Pertamina sebagai pembuat kebijakan negara harus memiliki analisis yang cermat dalam mengatasi dan mengurangi beban hidup masyarakat. Secara khusus untuk ruang lingkup kebijakan harga gas elpiji non-subsidi yang dalam hal ini berada dalam wewenang Pertamina, pemerintah harus lebih cermat bukan hanya menentukan harga standar gas elpiji non subsidi, namun harus ada upaya lebih agar program kenaikan harga gas non-subsidi dapat diterima oleh masyarakat Indonesia. Menurut saya harus ada bukti nyata perbaikan yang dirasa kurang oleh masyarakat meskpun hanya sebatas anggapan. Upaya- upaya yang harus dilakukan pemerintah diantaranya sosialisasi, pengawasan, dan peningkatan mutu pelayanan. Hal ini ditujukan untuk merubah pola pikir masyarakat, terutama di perbatasan dengan Malaysia.

Upaya pertama yang harus dilakukan yaitu sosialisasi. Untuk meyakinkan masyarat bahwa kebijakan yang dibuat pemerintah bukanlah keputusan sepihak dari Pertamina, pemerintah harus mensosialisaikannya melalui pemerintah daerah. Sosialisasi yang diberikan bukan hanya menggambarkan mengapa harga harus dinaikkan tetapi juga menggambarkan bagaimana jika harga tidak dinaikkan. Campur tangan pemerintah daerah untuk sosialisasi harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat. Jika tidak maka anggapan-anggapan negatif akan bermunculan seperti formalitas, tidak memperhatikan masyarakat, dan sebagainya. Jika hal ini terjadi maka akan menimbulkan keresahan dan pemakaian di luar batas pemakaian akan gas subsidi 3kg yang memiliki efek domino dimana pengoplosan gas 3kg ke tabung 12kg pasti marak terjadi dan pemakaian gas non subsidi 12kg akan merosot. Akibatnya, beban pemerintah dari kerugian harga gas non subsidi akan pindah ke gas subsidi sebagai tanggungan negara. Sosialisasi juga harus memberikan penjelasan secara rinci jalur distribusi gas ke daerah yang memiliki alam geografis yang berbeda yang menyebabakan harga gas elpiji berbeda-beda. Detail rinci tentang batas maksimal harga jual elpiji di tingkat pengecer juga harus dijelaskan sebab akan acuan bagi masyarakat untuk mengajukan keberatan jika menemukan harga melampui ketetapan pemerintah. Melalui sosialisasi diharapkan terjadi hubungan yang baik antara pemerintah dan masyarakat pengguna elpiji khususnya elpiji non-subsidi.

Upaya kedua pemerintah yakni pengawasan. Pengawasan merupakan cara untuk menjaga mutu dan kualitas gas elpiji. Pandangan negatif tentang isi tabung gas yang tidak sesuai dengan massa yang tertera di tabung tidak boleh diabaikan begiru saja. Bagi masyarak yang mengandalkan gas elpiji pertamina mungkin masyarakat tidak mempunyai pilihan lain. Namun bagi masyarakat di yang tinggal berbatasan dengan Malaysia seperti Entikong, hal inilah menjadi salah satu penyebab mereka tetap memakai gas elpiji impor dari Malaysia. Masyarakat di Entikong beranggapan bahwa gas elpiji Petronas memiliki massa yang sesuai dengan yang tertera di tabung.

Pertamina harus secara reguler memeriksa setiap jalur pendistribusian gas elpiji terutama di tingkat stasiun pengisian dan agen pengecer. Pada tingkat stasiun pengisian inilah pengawasan harus difokuskan, sebab pengisian tabung yang masih menjadi keberatan masyarakat atas isi tabung dilakukan di tempat ini. Inspeksi- inspeksi mendadak dan reguler seyogyanya terus dilakukan agar tidak ada istilah ‘permainan orang dalam’ dalam menjaga kualitas isi dan massa isi tabung. Pada tingkat pengecer, pengoplosan gas elpiji dari elpiji subsidi 3kg ke tabung non-subsidi 12kg sudah menjadi rahasia umum. Hal ini dimulai dari penimbuan elpiji 3kg di gudang agen yang mencari jalan cepat mendapatkan keuntungan berlipat-lipat. Jalur keluar masuk penjualan seorang agen harus benar-benar diawasi. Jika seorang agen biasa memesan 1000 tabung perminggunya dan tiba-tiba memesan 2000 tabung perminggunya maka hal ini harus menjadi tanda tanya besar oleh Pertamina. Lonjakan pembelian yang tidak biasa inilah yang tidak hanya diawasi dari dalam namun harus ada pengawasan ke luar. Pendistribusian oleh agen harus benar- benar ditujukan langsung oleh masyarakat agar tidak ada penimbunan. Pengawasan juga harus dilakukan pada penentuan batas maksimal harga jual. Sosialisasi yang dilaksanakan dalam rangka menentukan batas maksimal harga jual akan sia-sia jika tidak ada pengawasan ke tingkat pengecer. Dengan pengawasan yang optimal akan didapat hasil yang maksimal, dimana akan menguntungkan semua pihak yang terlibat dalam alur pendistribusian dan pemakaian elpiji non-subsidi.

Dan upaya terakhir menurut penulis adalah peningkatan mutu pelayanan. Meskipun pertamina adalah perusahaan yang bekerja di penditribusian gas elpiji secara monopoli di Indonesia, namun tidak berarti Pertamina lupa akan peningkatan terutama mutu pelayanan. Harga eceran yang berbeda-beda namun terlalu jauh dari satu daerah dibandingkan dengan daerah lain adalah bukti bahwa mutu pelayanan juga berbeda-beda. Lokasi geografis Indonesia yang berbeda-beda tidak bisa dijadikan Pertamina sebagai alasan pendistribusian. Tantangan geogrfis seharusnya tidak dijadikan kendala namun menjadi motivasi untuk lebih baik kepada masyarakat. Penduduk di perbatasan Entikong juga merasakan hal demikian. Jika untuk mendapatkan elpiji 12kg yang masih menjadi barang baru disana, mereka harus membeli tabung yang baru yang harganya lumayan mahal. Ketersediaan tabung 16kg Petronas memungkinkan mereka untuk terus menggunakan elpiji 16kg Petronas. Pelayanan yang tak terduga harus dilakukan. Meskipun tidak pernah dilakukan sebelumnya namun pemberian pinjaman tabung 12kg untuk masyarakat perbatasan bisa saja menjadi pijakan awal untuk menggunakan elpiji 12kg Pertamina.

Masyarakat sebagai konsumen dan yang mengeluarkan biaya juga harus merasakan pelayanan yang baik. Salah satu pelayanan yang baik adalah pemberian informasi yang diberikan secara up-to-date perihal gas elpiji non-subsidi seperti harga yang jelas, ketersediaan barang dan mutu elpiji.

Kesimpulan

Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang harus bangga dengan hasil kerja pemerintah Indonesia, penulis yang juga pengguna elpiji untuk tabung 3kg, merasa bahwa Pertamina harus meningkatkan semua sektor yang mereka kelola. Jika tidak maka pertamina tidak akan mampu bersaing dengan perusahaan luar terutama menghadapi Masyarakat ASEAN 2015. Pertamina harus mampu menjangkau seluruh pelosok Indonesia tanpa terkecuali. Pertamina yang saat ini menjadi penonton di negeri sendiri dalam konsumsi gas elpiji non-subsidi di hampir semua daerah perbatasan dengan Malaysia harus segera mengambil alih dengan meningkatkan daya saing dan merebut hati masyarakat perbatasan dengan cara-cara yang legal. Kenaikan harga elpiji non-subsidi 12kg sudah pasti akan semakin membebani sebagian masyarakat, namun jika kinerja dan hasil yang didapat dapat dirasakan masyarakat secara langsung maka efek yang dirasakan atas kenaikan harga ini dapat diminimalisir. Kerjasama Pertamina dengan berbagai pihak seperti pemerintah daerah, kepolisian, dan bea cukai di daerah perbatasan dalam mengawasi pendistribusian elpiji juga sangat dibutuhkan. Hal ini dilakukan agar semakin banyak masyarakat terutama di perbatasan seperti Entikong, menggunakan gas elpiji non-subsidi Pertamina, bukan sebaliknya.

Perbaikan birokrasi dan pengembangan sumber daya manusia harus dilakukan. Sebab secara logika, Pertamina sebagai perusahaan monopoli di gas elpiji tidak mungkin rugi setiap tahunnya. Namun itulah yang terjadi di mana setiap perusahaan BUMN sebagai pemain tunggal dalam satu bidang, maka hasilnya akan terus merugi. Namun jika ada saingan, ternyata kinerjanya memuaskan. Tuntutan agar menjadi salah satu BUMN yang mampu mendongkrak devisa negara harus dapat diwujudkan. Bravo PERTAMINA, Bravo GAS ELPIJI 12kg.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun