"Ada apa, Pak?"
Si Oknum bertanya dengan jantung yang bekerja lebih cepat dari biasanya. Ia harap-harap cemas apa yang ada dipikirannya tidaklah mungkin terjadi. Begitu salah satu polisi menjawab, tubuhnya langsung menegang.
"Anda diminta untuk datang ke kantor polisi atas laporan pemalsuan data perusahaan, pengambilan dana yang bukan hak Anda, gaji karyawan yang tidak sesuai dengan jam kerja, dan pemerkosaan terhadap salah satu karyawan Anda, serta pencabulan terhadap anak di bawah umur."
Si Oknum menggeleng keras, ia menyangkal. Bukan, ia tidak mungkin melakukan itu. Fitnah, ia dikambinghitamkan oleh orang-orang yang iri pada kesuksesannya. Ini pasti ulah orang-orang yang ia tolak kerja samanya kemarin lusa. Pemerkosaan? Bukan ia yang memerkosa, tapi wanita jalang itu yang menggodanya dan memasukkan obat ke dalam minumannya. Anak kecil mana yang cabuli? Sejak sebulan yang lalu ia sibuk dengan pembangunan hotelnya di Amsterdam. Kapan ia punya waktu untuk memuaskan nafsu?
Namun, polisi itu tidak peduli. Mereka tetap memaksa Si Oknum untuk datang ke kantor polisi dan menjelaskan semuanya di sana. Si Oknum berusaha kembali mengeluarkan alibi ini itu. Ia semakin dilanda kepanikan ketika melihat istrinya luruh di dekat pintu sambil menutup mulut menatapnya tidak percaya. Si Oknum segera menghampiri istrinya, berusaha memeluknya, menenangkannya. Mengatakan bahwa semua itu tidak benar dan semuanya akan baik-baik saja, tapi sang istri menolak pembelaan tersebut. Justru kepalanya ditampar hingga dunianya serasa berputa-putar.
"Pembohong! Kau pembohong!"
Si Oknum kembali menggeleng keras. Ia memohon pada istrinya untuk mendengarkannya dulu. Tapi, tamparan kedua ia dapatkan di pipi bagian satunya lagi.
"Yang kau perkosa itu kakak iparmu sendiri yang sudah bersuami! Yang kau cabuli itu keponakanmu sendiri! Pembelaan apa lagi yang kau berikan?! Aku sudah tahu semuanya, bajingan keparat! Tunggu surat perceraian dariku!"
Si Oknum tidak terima, istrinya sudah berani menamparnya dan membentaknya seperti itu. Amarah sudah menguasai tubuhnya, ia mencengkeram dagu sang istri hingga memekik kesakitan dan minta untuk dilepaskan.
"Kau sudah aku beri hidup enak, makan makanan lezat setiap hari, baju-baju baru, perhiasan mahal. Kalau tidak kau pasti sudah menggembel dan tidur di bawah kolong jembatan. Tapi, kau tidak tahu terima kasih dan hormat sedikitpun pada suamimu. Kembalikan semua yang sudah aku berikan kalau kau mau bercerai dariku!"
Si Oknum membalas sang istri tak kalah sarkas. Kemudian ia mencekik leher sang istri hingga wajah sang istri mulai puas.