Mohon tunggu...
Halina Said
Halina Said Mohon Tunggu... -

Mahasiswa semester akhir yang sibuk skripsi, tapi masih sempet ngompasiana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Seorang Teman Kecil yang Pemberani

29 April 2013   09:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:26 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jumat lalu saya sengaja ijin kerja untuk mengantarkan adik saya yang bontot lomba membaca berita. Lombanya diadakan oleh prodi pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Surabaya. Ada dua alasan kenapa saya rela seharian penuh mengantarkan dia lomba. Yang pertama, lokasinya cukup jauh dari rumah kami, yakni di jalan Sutorejo. Saya rasa akan sulit bagi bocah 14 tahun naik angkutan umum menjangkau lokasi itu. Dia pasti harus oper bemo berkali kali, sementara lombanya itu dimulai pukul 8 pagi. Yang kedua, karena tidak ada guru yang mendampingi. Walaupun dia dan dua orang temannya berangkat membawa nama sekolah, tapi sama sekali tidak ada pendampingan dari guru. Tiba di lokasi perlombaan saya sedikit kaget. Lomba ternyata diadakan untuk SMP SMA, padahal di pengumumannya lomba diadakan untuk SMP saja. Pun ternyata pengategoriannya dicampur. Saya pesimis adik saya yang kelas delapan SMP bisa menang melawan anak anak SMA yang bermake-up menor itu.  Tapi selalu saya katakan pada adik saya bahwa yang terpenting dalam sebuah perlombaan adalah keikutsertaan. Bagaimana kita akan tahu akan menang atau akan kalah bila ikut serta saja tidak pernah. Saya yakin sekali adik saya sudah menelan mentah mentah setiap sugesti saya perihal lomba. Buktinya sebelum lomba dimulai, dia berani membaca sebuah puisi di depan sekian banyak orang, saat panitia bingung mengisi acara lantaran salah seorang juri tidak kunjung datang. Nah, sungguh saya telah melewatkan momen penting ketika adik saya membaca puisi. Saya hanya bisa mendengar sambil sesekali melirik. Saya tidak sempat memotret atau merekam. Ceritanya begini. Di ruangan yang dialiri oksigen dari pendingin ruangan itu ada seorang anak laki laki peserta lomba yang terlihat duduk terpisah dan seorang diri saja. Dia terlihat khusuk membaca selembar kertas. Dia tidak membawa laptop atau flashdisk untuk menyerahkan salinan materi lomba kepada panitia seperti peserta yang lain. Bahkan saya tidak melihat dia membawa ponsel. Merasa ada yang kurang, saya dekati anak laki laki itu dan saya tawari untuk mengetik naskahnya di laptop saya saja. Tapi dia menolak. Dia terlihat canggung sekali ketika laptop saya serahkan. Saya berkesimpulan, bocah ini mencari materi berita untuk lomba di warnet dan begitu saja diprint. Dia tidak menyiapkan opening ataupun closing untuk berita yang akan dibacakannya. Akhirnya saya menyediakan diri untuk mengetik materi beritanya, membuatkan opening dan closingnya sekaligus di power point. Ketika saya mengetik itulah adik saya tampil membacakan puisi yang dia boleh tiru dari Youtube. Yang membuat saya begitu semangat mengetik untuk bocah ini adalah keberaniannya. Anak laki laki yang mengaku bernama Fahri Hanif ini sumbing. Sedangkan dengan adik saya yang normal saja saya bisa kasih jempol karena berani mengikuti lomba walau tanpa dukungan dari sekolah. Apa anda bisa bayangkan? Bagaimana seorang anak yang terlahir sumbing, berani mengikuti sebuah perlombaan membaca berita, bahkan tanpa pendampingan siapapun? Sementara anak anak lain di ruangan itu datang diantar oleh orang tuanya, oleh gurunya. Dipersiapkan segala keperluannya, mulai dari baju yang bagus, bedak hingga sepatu hak tinggi, Sementara dia duduk seorang diri dengan selembar kertas yang sudah lusuh karena dibaca berulang kali. Saya pasang fotonya disini tanpa intervensi apa apa kecuali agar anda tahu apa yang saya rasakan saat itu. Sungguh saya salut para pria kecil ini. Kita yang normal saja seusia dia sulit bila diminta maju ke depan orang banyak sekedar membaca Pancasila. Dia dengan ketidaksempurnaannya, dengan suaranya yang sengau, berani, mengikuti lomba membaca berita yang diikuti oleh sekitar 60 orang. Melihat dia rasanya saya sanggup menahan napas selama 15 menit. Sayang sekali siang itu saya kelaparan. Buku cerpen yang saya baca saat itu tidak mampu saya pahami. Saya tahu logika tidak jalan tanpa logistik, jadi saya makan siang dulu. Saya keluar ruangan dan membeli makanan kesukaan saya. Soto. Ketika saya kembali, ternyata Fahri yang pemberani itu telah menyelesaikan penampilannya. Menurut adik saya, penampilan Fahri tidak mulus. Materi berita milik Fahri yang saya berikan pada panitia tidak dibuka tepat waktu, sehingga Fahri harus terhenti dan mengulangi menampilannya lagi. Buruknya, banyak orang justru menertawakan penampilan Fahri siang itu. Jujur harus saya akui, kemungkinan Fahri untuk menang itu tipis sekali. Jangankan membaca berita, berbicara saja terkadang kita masih kesulitan menangkap kalimatnya. Tapi apakah mereka yang menertawakan Fahri itu sadar apa yang sedang mereka tertawakan? Fahri memang tidak mungkin menang, tapi berilah penghargaan atas keberaniannya. Semangat dan rasa percaya dirinya yang luar biasa tinggi. Tidak adakah seorang saja di ruangan itu menyadari hal ini? Apakah semua orang sudah terlanjur obsesif dengan kemenangan? Sehingga juara adalah harga mati dan hanya bisa menimbulkan aroma persaingan tanpa sedikitpun belajar tentang indahnya berproses? Akhinya saya menyudahi keresahan saya dengan tulisan ini. Di luar sana masih banyak Fahri Fahri lain yang sayangnya tidak seperti Fahri. Mereka masih takut untuk bergerak karena masih banyak cemooh dan pandangan miring. Masih banyak yang mengolok mereka dan memandang sebelah mata. Saya jadi tahu kenapa Allah memberi rasa lapar yang sangat pada saya siang itu. Bila saya berada di ruangan itu, melihat Fahri ditertawakan orang, barangkali sayalah orang yang paling sakit hati saat itu. Entah seperti apa respon saya bila melihat langsung kejadian itu. Bagaimanapun juga saya menaruh simpati dan kekaguman pada Fahri, Fahri yang pemberani. Saya mau ketemu kamu lagi suatu saat nanti, Fahri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun