Mohon tunggu...
Halim Pratama
Halim Pratama Mohon Tunggu... Wiraswasta - manusia biasa yang saling mengingatkan

sebagai makhluk sosial, mari kita saling mengingatkan dan menjaga toleransi antar sesama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Beriman Harus Berlandaskan Ilmu, Bukan Karena Fanatisme

6 Oktober 2024   13:01 Diperbarui: 6 Oktober 2024   13:27 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mengaji - jalandamai.org

Dalam iklim keberagaman khususnya keberagaman agama seperti di Indonesia, pengakuan akan adanya iman yang berbeda, kemampuan untuk menghargai penganut agama berbeda, serta keadilan bagi setiap pemeluk agama menjadi kebutuhan masyarakatnya. Mudah? Tentu Tidak! Memang pada kenyataannya menjaga harmonisasi antar umat beragama dalam sebuah negara tidaklah mudah. Butuh komitmen berkelanjutan sampai batas waktu yang tidak dapat ditentukan, bisa jadi selamanya selama keberadaan negara Indonesia ini tetap eksis di dunia ini.

Sejarah peradaban manusia telah membuktikan bahwa keberagaman dapat menjadi kekayaan yang bisa dibanggakan tapi juga menjadi sebab perpecahan dan bencana, jika tidak bisa mengelola adanya perbedaan iman. Agama bukanlah satu-satunya penyebab perpecahan, seringkali agama dimanipulasi untuk menciptakan konflik. Oleh karena itu alih-alih menjadi sumber kebaikan dan kedamaian, agama berubah menjadi 'iblis' yang mendatangkan petaka.

Aroma kebencian yang didasari perbedaan iman tentu saja bukan berasal dari religiusitas keberagamaan. Agama dinilai sebagai sesuatu yang suci namun kehilangan kesuciannya bila sampai menghembuskan aroma kebencian. Agama tak lagi menjadi sumber perdamaian, bila kebencian dan permusuhan tak terelakkan karenanya. Memang susah membedakan Tuhan dan ego, apalagi mereka yang fanatis dalam menjalankan keberagamaan. Merasa bahwa yang dilakukannya adalah panggilan Tuhan, namun sebenarnya keinginan ego semata. Meneriakkan nama Tuhan, dengan dalih membela-Nya, namun sebenarnya hanya desakan ego belaka. Mengapa? Karena Tuhan itu Maha Perkasa, Maha Agung, Maha Basar, Maha Kuat, tak terkalahkan. Sementara menusia hanya mahluk-Nya yang penuh keterbatasan, kekurangan, dan kelemahan. 

Sebagai ilustrasi atau gambaran kita semua, ketika dua negara Islam berperang Irak dan Iran. Tentara kedua belah pihak sama-sama sholat, keduanya mengagungkan Allah dengan teriakan 'Allahu Akbar'. Masing-masing menyatakan bahwa dirinya benar. Masing-masing merasa membela kebenaran. Kedua belah pihak pun saling membunuh. Macam inikah menegakkan kebenaran? Atau mereka hanya menuruti ego?

Seseorang yang rajin beribadah, kewajiban sholat lima waktunya selalu tepat waktu, tak ada yang terlewat tanpa mengikuti jamaah di masjid. Ada satu temannya penasaran. Ia pun bertanya, "bila suatu saat kamu hendak sholat, lalu kamu melihat orang mengalami kecelakaan yang bisa menyebabkan kehilangan nyawa? Apa yang akan kamu lakukan?" Jawaban si anak sholeh cukup mengejutkan, "Saya akan lakukan sholat dahulu, baru menolongnya bila masih dapat ditolong!", yang bertanya tentu penasaran, kemudian bertanya lagi "Bagaimana kalau ia terburu meninggal?", jawabannya lagi-lagi membuat shock.

"Itu namanya takdir! Kalau belum takdirnya, pasti masih bisa saya tolong setelah selesai sholat". Ketaatan macam ini kah yang diinginkan Tuhan? Atau dorongan egonya terlalu besar?

Itulah yang disebut dengan ego spiritual, ketika orang terlalu mengedepankan hubungan vertikalnya dengan Tuhan tanpa mau tahu lingkungan masyarakat sekitarnya. Mungkin patut kita pertanyakan kepada diri kita sendiri, ibadah dan segala hal yang notabene kita niatkan untuk Tuhan demi mematuhi-Nya, apakah lahir dari nurani kita atau untuk membela kepentingan kita [Ego] semata?

KIta dihadapkan pada fenomena, betapa mudahnya orang memanggil "Allah..., Allah...", tetapi sikapnya berlawanan dengan kelembutan Allah. Apalagi mereka yang gesit menyebut nama-Nya! Tapi Nama Tuhan hanya terhenti di bibir, tak lebih!

Dalam hal kemanusiaan tidak ada batasan, semua memiliki hak yang sama, tidak peduli apakah dia Muslim atau non-Muslim. Semua berhak mendapatkan keadilan, kedamaian, dan ketentraman dalam menjalankan ibadah sesuai dengan kepercayaannya masing-masing, tidak boleh ada sentimen-sentimen yang membuat tidak nyaman. Mereka yang menjadi mayoritas harus melindungi minoritas.

Jika mengaku Islam, kehidupan orang Islam diliputi suasana selalu mensyukuri nikmat yang diterimanya, menjaga kebenaran, menunaikan amanah, ikhlas, tulus, istiqomah, mencintai persatuan, pemaaf, tidak menyukai permusuhan, suka bermusyawarah untuk menyelesaikan persoalan bersama, dan hidupnya selalu mengedepankan hikmah atau kearifan. Dengan demikian, Islam tampak sebagai kehidupan sehari-hari yang indah dan selalu dirindukan oleh semua orang tanpa terkecuali. Kalau masih ada sentimen diantara kita? Yuk, kita perdalam lagi ilmu agama kita.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun