Fanatisme selalu menjadi masalah. Agama tidak pernah salah, namun manusia yang memperlakukan agama itulah yang salah. Fanatisme merupakan gagal paham seseorang atas 'perbuatan' Allah SWT dan ajaran agama-Nya, menjadi penghianatan terhadap ajaran agama itu sendiri. Secara hakiki, fanatisme adalah egoisme berbulu agama.
Agama merupakan sistem relasi vertikal sekaligus horisontal (dalam Islam hablumminallah & hablumminannas). Jadi tidaklah mungkin seseorang yang ber-Allah menafsirkan agama secara eksklusif hanya untuk dirinya, kepentingan kelompoknya dan menegasikan kodrat manusia itu sendiri sebagai mahluk sosial yang diciptakan Allah SWT dengan keberagaman. Itulah mengapa dibilang penghianatan, karena rasanya tidaklah mungkin sebuah agama mengajarkan, menganut, atau memberlakukan sebuah egoisme.
Agama dimanapun, baik nada maupun syairnya selalu bermuatan anti egoisme. Mengarahkan umatnya pada suatu kepedulian yang bukan saja mengarah pada diri mereka sendiri (ego) tetapi juga pada yang bukan diri mereka. Agama senantiasa menebar suatu perhatian yang tidak memuaskan dan membahagiakan ego belaka, tapi juga yang bukan ego.Â
Bicara tataran ideal, seharusnya fanatisme agama adalah sesuatu yang mustahil, namun hal itu menjadi mungkin karena kenyataan tak selalu seindah harapan. Kenyataan di lapangan tidak berbanding lurus dengan nilai-nilai mulia agama. Sebagai bukti, kerusuhan dan pertumpahan darah karena agama atau dalih membela agama sudah berlangsung selama berabad-abad. Hal tersebut bukan baru terjadi di abad ini dan di negeri ini saja.
Fakta-fakta di lapangan menunjukkan bahwa tidak sedikit agama yang dengan arogan menyebut dirinya benar dan kemudian menunjukkan keeksklusifannya sekaligus keberingasannya. Fenomena ini nyata, tetapi yang jadi masalah adalah mengapa ada agama yang beringas? Apa memang ada agama yang karakternya beringas? Atau doktrinnya mengajarkan keberingasan sebagai sesuatu yang etis? Tentu tidak! Agama baik nada maupun syairnya berisikan cinta kasih, tolong menolong dalam kebaikan, tidak mementingkan diri sendiri, peduli pada orang lain, dan segala hal yang mengandung muatan kebaikan.
Islam juga mengajarkan agar umatnya mensucikan hatinya, sehingga berbagai penyakit hati di antaranya hasut, dendam, iri hati, takabur, permusuhan, memfitnah, merendahkan orang lain, dan seterusnya menjadi tidak tampak dan juga tidak terasakan dari kehidupan seorang muslim. Saya pikir, begitu juga yang diajarkan oleh agama-agama lainnya. Tapi selalu saja ada umat yang gagal paham dan anehnya mendapat pengikut yang tidak sedikit.
Jika sebagai umat beragama kehidupan kita jauh dari ajaran mulia agama, maka kita harus melakukan reintepretasi sekaligus rekoreksi terhadap kehidupan keagamaan kita. Jangan mempertahankan suatu paradigma yang terlanjur terkotak-kotak dan malah menimbulkan nilai-nilai egoisme, sama saja artinya dengan suatu upaya mempertahankan status quo belaka. Jangan jadikan agama sebagai kendaraan untuk meraih keuntungan-keuntungan demi kepuasan dan pencapaian diri sendiri yang cenderung tidak teologis tapi egois.
Jadi mari kita intropeksi diri, siapapun, dimanapun, kapanpun, lakukanlah kebaikan, jangan terkekang dengan sekat agama, hilangkan superioritas yang menganggap agamanya sebagai satu-satunya pewaris 'kebenaran'. Kikis semua eksklusifitas antar agama ataupun antara sesama keyakinan. Jangan jadikan agama sebagai bungkus untuk membedakan antar manusia dan membinasakan mereka yang berbungkus lain. Hati-hati, jangan sampai kita sebagai umat beragama malah menendang Allah keluar dari posisi-Nya atau malah membelenggu-Nya karena kesalahan menafsirkan universalitas Allah. Jangan egois, setiap umat beragama pasti menganggap agamanya adalah yang paling benar, jangan paksakan kebenaran yang kalian anut kepada penganut agama lain. Hormati keyakinan mereka, maka mereka akan balik menghormati anda dan agama anda.Â
Â