Perayaan hari raya Idul Adha saat ini tidak lepas dari kisah Nabi Ibrahim as dan putranya, Nabi Ismail as. Pesan dan 'ibrah dari peristiwa besar yang tidak ada duanya dan tidak akan terulang kedua kalinya dalam sejarah umat manusia itu, dapat disinyalir bahwa muslim sejati adalah yang memiliki kecintaan dan kepatuhan mutlak kepada Allah SWT melebihi kecintaannya kepada siapapun dan apapun.Â
Kecintaan manusia kepada siapa dan apa saja harus selalu didasari karena kecintaannya kepada Allah SWT. Perjuangan Nabi Ibrahim as dan putranya, Ismail as hendaknya dapat dijadikan introspeksi diri atas ketaatan manusia dalam memegang teguh syariat Islam.
Menghayati dan mangaktualisasikan makna esensi dan pesan-pesan luhur ibadah kurban untuk menghadirkan kemaslahatan dan kesejahteraan bagi sesama tidak terlepas dari misi agama, baik sebagai hamba Allah SWT, maupun sebagai khalifatullah, baik sebagai umat maupun warga bangsa.Â
Ritualitas kurban diharapkan mampu membentuk pribadi muslim yang peduli terhadap masyarakat dan lingkungan sekelilingnya, sebagai manusia yang siap berkorban dan mengulurkan tangan untuk membantu dan meringankan penderitaan kepada sesama, terutama kepada umat yang lemah dan membutuhkan (kaum dlu'afa dan masakin).
Makna esensi dan pesan luhur lainnya dari ibadah kurban adalah bahwa Allah SWT sangat sayang dan menjunjung tinggi harkat, martabat dan jiwa manusia, sehingga Ia sama sekali tidak memperkenankan terjadinya pembantaian, tercucurnya darah atau lenyapnya nyawa manusia untuk kepentingan apapun. Ajaran Islam tidak pernah mentolerir terjadinya kekerasan, kebrutalan dan penindasan dalam bentuk apapun yang mengakibatkan tumpahnya darah manusia atau penderitaan umat manusia.
Nabi Ibrahim as dikenal sebagai bapaknya para nabi atau 'abu al an-biya'. Sejak Nabi Ibrahim as diutus oleh Allah SWT sebagai rasul, maka nabi-nabi dan rasul setelah itu semuanya adalah anak cucu keturunan yang silsilah nasabnya kepada Nabi Ibrahim as.Â
Selain karena memang telah menjadi pilihan Allah SWT, status dan peran Nabi Ibrahim sebagai 'abu al an-biya' juga berkat doa yang ia panjatkan dan dikabulkan oleh Allah SWT sebagaimana tertuang dalam QS 2:124; "Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: 'Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia." Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku." Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim".
Allah SWT sendiri yang kemudian mendidik karakter Nabi Ibrahim as sebagai pemimpin yang harus siap dan rela berkorban. Berkorban mengalahkan kepentingan diri dan kelompoknya, mengalahkan egoisme, dan kepentingan jangka pendek dengan hanya menghambakan diri kepada Allah SWT.
Ketika Allah SWT perintahkan agar anak yang baru lahir diantar ke suatu lembah sunyi yang tak berpenghuni di tengah padang pasir yang sepi. Bagi seorang suami, berpisah dengan istri adalah pengorbanan. Bagi seorang ayah berpisah dari anak yang kedatangannya sudah berpuluh tahun diharapkan adalah satu penyiksaan.Â
Namun Ibrahim as adalah Rasul dan manusia pilihan. Baginya, jika Allah SWT yang memerintahkan, apapun yang terjadi perintah harus dilaksanakan. Istilah kata, meski bumi hancur, langit runtuh, namun perintah Allah SWT harus tetap dipikul di atas bahu, dijinjing dengan tangan dan digigit dengan gigi geraham.