Kita baru saja memperingati Hari Pendidikan Nasional hari Kamis lalu, tepat tanggal 2 Mei 2024. Momentum tersebut penting untuk kita gunakan sebagai evaluasi dan renungan atas apa yang terjadi di dunia pendidikan Indonesia. Terutama terkait tiga dosa besar dunia pendidikan yaitu kekerasan seksual, perundungan/kekerasan dan intoleransi yang masih saja kita temui di dunia pendidikan kita.
Jika kita bicara mengenai pendidikan tentunya yang terbayang di benak kita pastilah proses kegiatan belajar mengajar, disinilah peran pendidik sangat penting karena merupakan tugas yang terus menerus dilakukan dari anak umur 0 tahun sampai nanti akan berhenti ketika tutup usia. Kenapa begitu?Â
Manusia dituntut untuk terus belajar karena zaman terus berkembang, selalu ada hal baru untuk dipelajari. Baik di institusi formal pendidikan yaitu pendidikan yang diselenggarakan seperti sekolah dan memiliki tingkat pendidikan yaitu SD, SMP dan SMA dan seterusnya ataupun pendidikan non-formal, tempat dimana siswa mendapatkan ketrampilan dan juga pendidikan informal yang dilakukan oleh orang tua di rumah dan masyarakat/organisasi.
Sebagai seorang pendidik, orang tua, guru di sekolah formal, serta guru-guru di lembaga pendidikan non formal serta masryarakat/organisasi mempunyai tanggung jawab atas pendidikan. Seorang pendidik adalah agen pembelajaran yang harus menjadi fasilitator, motivator, pemacu, perekayasa pembelajaran, dan pemberi inspirasi belajar bagi peserta didik.Â
Sebagai pendidik tentunya akan berpasangan dengan peserta didik yang harus menjadi perhatian utama. Pendidik harus mengenal dan memahami peserta didik. Apa yang dialami peserta didik, apa yang diinginkan dan apa yang dirasakan. Pendidik harus mengenal kepribadian dan gaya belajar mereka yang menjadi modal utama bagi pendidik untuk menentukan metode, strategi dan media pembelajaran sesuai dengan gaya belajar peserta didik.
Sebagai pendidik tentunya kita harus mengenali peserta didik karena terdapat berbagai macam karakter manusia; ada yang mudah bersahabat, pendiam, keras, pemarah, pendendam, penyabar, santai, perfeksionis (menuntut kesempurnaan), penggembira, optimis, pesimis, dan lain sebagainya. Untuk itu perlu kesinambungan dan keselarasan dari pendidik di lembaga pendidikan formal, non-formal dan informal. Jangan hanya mengandalkan pendidik di lembaga formal saja.
Pada intinya pendidik harus steril dari watak mendominasi peserta didik, janganlah menjadi pendidik yang egois dan arogan sehingga peserta didik tidak berani untuk berkata sejujurnya dan terbuka mengeluarkan pendapat dan pemikirannya. Pendidik harus punya kesadaran untuk terus belajar dan memperbaiki diri dan berempati kepada peserta didik. Pendidik harus bekerja ekstra untuk kemajuan peserta didiknya  Â
Kasus-kasus peserta didik yang mengenaskan sudah terjadi. Ada peserta didik yang "terjun" di sekolah, pemukulan dan penganiyaan peserta didik, bahkan kemarahan pendidik yang berlebihan adalah bukti pendidik terlalu enak dengan dirinya sendiri. Sehingga tidak peduli lagi kepada peserta didiknya. Tidak dekat dengan peserta didik dan tidak tahu apa yang dialaminya. Hal tersebut karena pendidik terlalu egois dan arogan, sayangnya hari ini, bisa jadi, banyak pendidik tidak menyadari sikap egois dan arogannya sendiri entah memang bebal atau sudah malas untuk mengembangkan diri.
Itulah salah satu penyebab persoalan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia, jika kita mau memperbaikinya tentu tidak bisa dengan cara mengubah kurikulum apalagi hanya mengganti menteri atau dirjennya. Sejatinya, kualitas pendidikan hanya bisa dijawab oleh kualitas para pendidik. Pendidik yang profesional, kompeten dan berkualitas, agar kualitas pendidikan tidak "jauh panggang dari api".
Kita paham persoalan pendidik memang tidak sederhana tapi juga bisa dibilang tidak terlalu kompleks. Para pendidik di era digital ini seharusnya terus meningkatkan pengetahuan agar terbarukan terus disiplin ilmu yang dimilikinya. Pendidik harus semakin terampil dalam mengelola peserta didik di dalam kelasnya.Â