Mohon tunggu...
Halim Pratama
Halim Pratama Mohon Tunggu... Wiraswasta - manusia biasa yang saling mengingatkan

sebagai makhluk sosial, mari kita saling mengingatkan dan menjaga toleransi antar sesama

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Tak Perlu Fanatik Dalam Menentukan Pilihan Politik

4 Februari 2024   10:06 Diperbarui: 4 Februari 2024   10:13 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Indonesia Satu - kompas.com

Menjadi pemilih yang logis dan cerdas, sangat diperlukan dalam pemilu 2024 ini. Baik itu dalam memilih presiden dan wakil presiden ataupun dalam pemilu legislative. Tak dipungkiri, dalam setiap kontestasi politik, fanatisme seringkali muncul. Entah itu benar-benar karena keputusan personal atau karena faktor yang lain, sampai memunculkan fanatisme yang berlebih.

Ketika fanatisme yang muncul dan terus dibiarkan, dikhawatirkan akan menghilangkan obyektifitas dalam menentukan pilihan. Fanatisme biasanya muncul disandingkan dengan sentiment keagamaan. Hal ini pun juga pernah terjadi dalam pemilihan gubernur di Jakarta beberapa tahun lalu. Dan potensi itu juga bisa saja terjadi dalam pilpres 2024. Seseorang yang toleran, justru diframing sebagai seseorang yang tidak religius. Sementara seseorang yang berasal dari kalangan religius, diframing seolah-olah yang paling benar.

Memimpin negara tidak bisa dihadapkan pada persoalan agama. Bahwa agama merupakan dasar dalam memimpin sebuah negara memang betul. Karena itu pula sila pertama Pancasila berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia sangat mengedepankan agama. Tanpa agama tentu semuanya akan berantakan. Namun, agama sejatinya berada di tempat yang netral. Tidak perlu dibawa ke ranah politis.

Dalam prakteknya, seringkali para elit politik menggunakan sentimen agama untuk mendapatkan dukungan. Terlebih mayoritas masyarakat Indonesia memeluk agama Islam. Pada titik inilah seringkal masyarakat bingung. Karena segala sesatunya selalu dibungkus dengan isu keagamaan. Akibatnya, kelompok radikal masuk dan ikut memberikan pemahaman yang salah. Padahal Islam merupakan agama yang moderat. Yang selalu mengajarkan untuk bersikap tidak berlebihan dalam segala hal. Karena pemahaman yang salah itulah yang memunculkan sikap fanatisme di masyarakat.

Dalam Islam sendiri menegaskan bahwa fanatisme merupakan sikap yang berlebihan, yang tidak akan mendatangkan kebaikan. Dalam Alquran Surat Al Madinah ayat ke 77 Allah berfirman, "Katakanlah; wahai ahli kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan sebagian manusia dan mereka telah tersesat dari jalan yang lurus".

Dalam konteks politik Indonesia saat ini, potensi fanatisme itu terlihat muncul. Yang penting si A, si B atau si C. Padahal cara-cara yang dilakukan si calon tersebut belum tentu benar. Namun karena sudah terbentuk fanatisme, publik menjadi tidak obyektif dan melihatnya dengan menggunakan kaca mata kuda saja. Cintailah para calon pemimpin yang akan bertarung di pilpres tersebut sesuai porsinya saja. Berilah dukungan secara obyektif dan logis. Jika program yang diusung tidak relevan, tidak perlu dipilih. Jika programnya jelas memberikan manfaat bagi negara ini, mungkin bisa patut untuk dipertimbangkan.

Perang opini yang terjadi di tahun politik ini, juga tidak perlu berlebihan. Berilah pandangan yang jelas dan utuh di masyarakat. Begitu juga sebaliknya. Masyarakat juga harus logis dan melakukan cek ricek, agar informasi yang diserap bukanlah informasi yang salah dan menyesatkan. Ketika kita salah menentukan pilihan, maka yang akan kita tanggung adalah lima tahun kedepan. Dan ingat, tidak ada pemimpin yang ideal. Dalam politik segala sesuatunya bisa berubah. Salam literasi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun