Dalam kehidupan bermasyarakat, semestinya memang bisa saling berdampingan antar sesama. Terkadang antar sesama bisa saling membutuhkan. Jika ada yang sakit, terkadang bisa mengatarkan ke rumah sakit. Kalau kita ada kelebihan makanan terkadang bisa saling membagikan. Memang begitulah esensi dalam kehidupan bermasyarakat.
Namun, seiring dengan meraknya propaganda radikalisme di media sosial, beberapa masyarakat mulai bersikap eksklusif. Tidak mau berbaur, tidak mau bertegur sapa. Hanya mampu berdampingan dengan yang seiman dan segala macamanya.
Hal ini juga tidak bisa dilepaskan dari pengaruh penceramah agama, yang sudah terpapar bibit intoleransi dan radikalisme. Saat ini media sosial telah melahirkan tokoh-tokoh agama instan, yang berusaha mendapatkan simpati publik dengan menjadi penceramah. Ketika sudah belajar agama sedikit, sudah langsung merasa paling bersih, paling suci, dan paling segalanya.
Akibatnya, mereka menjadi sensitif terhadap perbedaan. Tidak hanya pada perbedaan pandangan, tapi perbedaan keyakinan juga sering menjadi persoalan oleh kelompok ini.
Atas nama mayoritas masyarakat Indonesia yang beragama Islam, kelompok ini seringkali merasa segalanya harus didasarkan pada Islam. Padahal, Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama termasuk di dalamnya agama Islam.
Nilai-nilai yang tertuang dalam Ketuhanan Yang Maha Esa, mengadopsi seluruh agama yang ada di negeri ini. Mereka berusaha ingin mengganti dengan nilai-nilai syariat Islam. Bahkan mereka juga ingin menerapkan konsep khilafah, yang cenderung mengadopsi paham takfiri, dan suka mengkafirkan orang lain.
Tanpa disadari, paham ini seringkali dimunculkan oleh penceramah radikal. Bukan bermaksud untuk mendiskreditkan para penceramah atau Islam, atau agama yang lain.
Tapi faktanya, radikalisme telah menyusup ke semua lini termasuk melalui para penceramah ini. Bahkan, presiden Joko Widodo dalam sambutannya beberapa pekan lalu, dengan tegas menyebutkan jangan undang penceramah agama radikal.
Sebelumnya, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) juga menyebutkan adanya indikasi pesantren yang berafiliasi dengan jaringan terorisme. Hal ini adalah fakta yang perlu kita jadikan kewaspadaan, bukan untuk mendiskreditkan.
Mari kita saling menghargai, tidak usah saling mencaci. Sadar atau tidak, diantara kita sudah mulai sering menghujat orang lain dengan dalih kebebasan menyampaikan pendapat. Bahkan ada yang menyesatkan atau mengkafirkan orang lain, dengan dalih menegakkan ajaran agama.