Budaya saling kritik di Indonesia memang bukanlah hal yang baru. Setelah era reformasi, saling kritik menjadi hal yang biasa. Sebuah kondisi yang mungkin sulit dirasakan di era orde baru. Kritik ini bentuknya bermacam-macam. Ada yang dilakukan dengan cara turun ke jalan alias unjuk rasa, atau menuliskan di media massa nasional, atau di media sosial. Dan pihak-pihak yang menghadapi kritik pun, juga mulai bermacam-macam. Tidak hanya pemerintah, tapi bisa perusahaan, organisasi, atau bahkan perseorangan.
Kritik ini juga tidak bisa dilepaskan dari beragamnya karakter masyarakat Indonesia. Keberagaman itu tidak hanya dari tingkat pendidikan, tapi budaya dan tradisi yang berbeda, juga mempengaruhi sudut pandang. Dan faktor lain adalah tingkat literasi antar masyarakat juga berbeda-beda. Perkembangan teknologi, juga ikut mempengaruhi dalam hal penyampaian kritik. Dengan menggunakan telepon genggam saja, kritik bisa diimplementasikan.
Persoalannya adalah, seringkali kritik hanya berisi keluhan saja. Tidak jarang berisi kekecewaan. Pada tingkat yang lebih ekstrim, kritik hanya berisi pandangan subyektif yang disusupi sentimen kebencian. Kritik semacam ini biasanya ditujukan untuk pemerintah. Mungkin kita juga bisa melihat dalam beberapa tahun terakhir ini. Masa pandemi tak menyurutkan seseorang untuk menyampaikan kritik.
Kritik pada dasarnya sangat diperlukan, baik itu untuk kepentingan pemerintah, perusahaan atau yang lainnya. Kritik bisa menjadi fungsi kontrol, agar pihak yang dikritik bisa menjalankan amanahnya dengan baik. Kritik juga membuat kita bisa saling belajar, saling memahami dan mengerti. Sebaliknya, pemerintahan tanpa kritik bisa semau-maunya. Pemimpin tanpa kritik bisa berpotensi otoriter dan segala macamnya.
Untuk itulah, kritik harus dilakukan secara konstruktif. Tentu saja dengan tetap mengedepankan etika dan aturan yang berlaku. Kritik yang subyektif dan cenderung provokatif, hanya akan melahirkan dan melanggengkan kebencian-kebencian baru saja. Kritik yang konstruktif secara tidak langsung akan memperbaiki pula iklim demokrasi kita. Kebebasan menyampaikan pendapat masih terjaga, tapi tetap dilakukan secara santun dan elegan. Tidak ada lagi provokasi yang melahirkan perilaku-perilaku persekusi.
Contoh kecil adalah mengenai keberadaan Jemaah Ahmadiyah, yang sampai sekarang masih terus mendapatkan persekusi. Kelompok minoritas seringkali dikritik sebagai pihak yang bertentangan dengan ajaran agama. Sampai akhirnya mendapatkan label sesat, kafir dan segala macamnya. Kritik yang provokatif hanyalah akan melahirkan kebencian. Kebijakan pembatalan haji beberapa waktu lalu, juga disikapi dengan kritik yang provokatif. Akibatnya, hoaks dimana-mana. Mari kita introspeksi. Negeri ini butuh generasi pemersatu yang inovatif tapi tetap toleransi. Negeri ini tidak butuh generasi yang provokatif, yang bisa memecah belah persatuan dan kesatuan. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H