Hingga saat ini terus bermunculan situs atau website keislaman di internet. Ada yang dikelola oleh NU, Muhammadiyah, lembaga pendidikan tertentu, atau dari pihak-pihak lain. Keberadaan website ini diharapkan bisa membantu masyarakat untuk memahami agama secara utuh, obyektif dan konteksnya.
Bagi website yang tetap nilai-nilai keislaman, tapi tetap mengakomodir nilai-nilai kearifan lokal dan kebangsaan, tidak masalah karena sangat bagus untuk memberikan pendidikan ke masyarakat. Namun bagi situs yang selalu memberikan satu sudut pandang, tidak pernah memberikan alternatif pandangan lain, cenderung menyalahkan bahkan mengkafirkan, harus diwaspadai. Karena situs semacam ini umumnya dikelola oleh kelompok wahabi, yang cenderung lebih dekat dengan pemahaman radikalisme.
Sebagai generasi yang cerdas, kita harus terus melakukan cek ricek terhadap setiap informasi. Jadilah generasi yang kritis, untuk terus selalu bertanya, untuk terus mencari data pembanding. Jika kita semua bisa melakukan hal ini, maka informasi yang masuk bisa selengkap mungkin. Logika dan analisa kita juga akan terbangun agar bisa memberikan pemahaman yang benar-benar maksimal.
Jika kita selalu dihadapkan pada statement halal haram, mari kita tinjau dari sudut pandang yang lain. Mari kita tinjau ayat yang lain. Mari kita lihat bagaimana konteksnya. Simulasi berpikir semacam ini harus dimiliki oleh semua orang, agar literasi semakin kuat. Carilah jawaban sebanyak mungkin. Dan tokoh yang benar, selalu memberikan banyak jawaban dengan berbagai macam sudut pandangnya.
Dengan mendengarkan pendapat dari banyak tokoh, kyai, habaib, atau yang lain, akan membuat kita semakin kaya akan intelektual. Dengan memahami banyak budaya lokal yang ada, akan menyadarkan betapa kita sebenarnya adalah beragam. Dan dalam keberagaman tersebut tetap punya nilai yang sama, yaitu gotong royong. Karena itulah, jangan terus mempertentangkan mengenai perbedaan. Seringkali website kelompok wahabi selalu mempersoalkan keberagaman karena dianggap tidak sesuai mayoritas penduduk Indonesia yang muslim. Ingat, dalam Islam sendiri pun juga banyak perbedaan. Dan dalam perbedaan itu tetap bisa saling berdampingan.
Satu hal yang perlu kita sadari bersama adalah penyebaran propaganda radikalisme di Indonesia masih terus terjadi. Salah satunya menyusup melalui media sosial, melalui website dan kecanggihan teknologi informasi. Tak jarang pula dakwah virtual yang dilakukan oleh tokoh tertentu, juga seringkali diselipkan konten radikalisme. Tidak semuanya. Karena kelompok ini pada dasarnya sedikit. Hanya saja pola kerja mereka sistematis, dan pintar menarik simpati masyarakat.
Dengan menjadi generasi yang cerdas, generasi yang mempunyai literasi kuat adalah keniscayaan di era milenial ini. Perkembangan informasi yang begitu pesat, menuntut kita untuk paham isu, paham budaya, paham agama, paham segala halnya. Mari terus merajut jejaring untuk meredam penyebaran radikalisme di dunia maya. Jejaring yang kritis harus terus ditanamkan ke semua orang. Namun dalam kekritisan tersebut harus tidak boleh dilupakan nilai-nilai kearifan lokal. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H