Toleransi menjadi hal yang penting bagi Indonesia. Karena negara ini mempunyai keanekaragaman suku, budaya, bahasa dan agama yang tidak sedikit. Dan keberagaman itu merupakan anugerah dari Tuhan yang harus terus dijaga dan dilestarikan. Karena itulah, nilai-nilai saling menghargai, menghormati sangat melekat di seluruh masyarakat Indonesia, apapun itu sukunya. Dan faktanya, hingga saat ini keberagaman itu tetap terjaga melalui bingkai negara kesatuan republik Indonesia.
Namun dalam perjalanannya, ada saja pihak-pihak yang ingin mengganggu nilai-nilai kearifan lokal seperti toleransi ini. Gangguan ini muncul ketika ada oknum tertentu yang sengaja menyebarkan intoleransi dan radikalisme dengan berbagai cara. Bahkan lembaga pendidikan seperti sekolah negeri pun, tak luput dari sasaran kelompok ini. Mereka tidak hanya mempengaruhi siswa, tapi juga guru, dan pihak-pihak yang beraktifitas di sekolah. Bahkan, upaya yang mereka lakukan dari level pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga perguruan tinggi negeri.
Beberapa tahun lalu ditemukan buku berisi materi jihad dengan cara bom bunuh diri pada buku bacaan PAUD. Di tingkat SD hingga SMA, mulai muncul anjuran untuk menggunakan seragam keagamaan tertentu. Jika tidak melakukan, akan mendapatkan persekusi dari pihak sekolah atau teman-temannya. Iklim intoleransi ini sadar atau tidak sadar, mulai mengganggu sekolah negeri.
Di Solo, Jawa Tengah, awal 2020 lalu sampai membuat sekolah toleran. Ada sekitar 20 sekolah yang dijadikan sebagai sekolah toleran. Para siswa diberi pembekalan untuk saling memahami satu dengan yang lain. Langkah ini diambil untuk mencegah praktek intoleransi dan radikalisme di tingkat sekolah. Seperti kita tahu, penyusupan paham menyesatkan itu marak terjadi di sekolah negeri. Kok bisa? Sekolah yang basisnya agama seperti milik NU atau Muhammadiyah, sudah pasti akan aman karena punya filter yang kuat. Nah, untuk sekolah umum negeri, filter itu tidak ada. Celah inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh simpatasian kelompok intoleran untuk menyebarkan propaganda radikalisme.
Dan faktanya memanglah demikian. Jika tidak ada upaya untuk memutus mata rantai radikalisme di lembaga pendidikan, akan semakin banyak generasi penerus bangsa ini yang terpapar. Akan sangat rugi negara ini jika para generasi mudanya terpapar virus yang menyesatkan ini. Namun tidak sedikit diantara kita yang tidak sadar, bahwa setiap hari seringkali memupuk bibit kebencian yang berpotensi bisa menjadi intoleran. Penyebaran ujaran kebencian di media sosial, seakan dianggap menjadi hal yang lumrah terjadi. Padahal kebencian merupakan awal dari menguatnya intoleransi dan radikalisme dalam diri.
Tidak sedikit diantara para siswa yang mengejek temannya dengan sebutan 'kafir' atau 'sesat' hanya karena persoalan berbeda agama. Berbeda menjadi hal yang menakutkan bagi sebagian orang. Padahal berbeda pada dasarnya sangat melekat dengan kepribadian bangsa Indonesia. Karena Indonesia merupakan negara yang sangat majemuk, yang terdiri dari banyak suku yang tersebar dari Aceh hingga Papua. Dan sekolah atau lembaga pendidikan apapun, punya kewajiban untuk menjaga kemajemukan tersebut. Sekolah harus mampu menjadi media perekat keberagaman, tanpa harus saling membenci satu sama lain. Itulah kenapa, sekolah harus bisa menjadi tempat pendidikan toleransi bagi semua orang. Salam toleransi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H