Seiring kemajuan teknologi, telah banyak melahirkan ruang-ruang publik yang bisa digunakan masyarakat untuk berargumentasi dan berekspresi. Apalagi dengan munculnya media sosial, ruang berekspresi itu semakin tidak terhitung. Semua orang bisa menggunakan ruang-ruang publik tersebut.Â
Mulai dari anak-anak hingga dewasa. Dari masyarakat biasa hingga kepala negara. Semuanya bisa menggunakannya. Menariknya, ruang publik tersebut tidak ada aturan. Yang bisa menjaga hanyalah etika penggunanya. Jika pengguna tidak mengedepankan etika, yang terjadi adalah kegaduhan. Sebaliknya, jika etika dikedepankan, maka akan bisa memunculkan respect, solidaritas, inspirasi dan berbagai hal positif lainnya.
Beraktifitas di media sosial memang harus ada etikanya. Memang etika ini masih belum dibuat oleh regulasi negara, hanya didasarkan pada adat sopan santun. Justru ini semestinya bisa dimaksimalkan. Kenapa? Karena kita masyarakat timur yang pada dasarnya menjunjung tinggi etika sopan santun, saling menghormati, menghargai dan lain sebagainya. Dan sopan santun itu semestinya harus senantiasa diimplementasikan dalam setiap ucapan dan perilaku, baik itu di ruang publik maya ataupun nyata.
Kenapa harus ada etikanya? Bukankah seiring perkembangan demokrasi di Indonesia, menyampaikan aspirasi, berekspresi dan berargumentasi itu diatur undang-undang? Artinya, kita bebas menyampaikan apapun yang menjadi aspirasi kita. Pandangan tersebut tidak sepenuhnya salah. Yang salah adalah jika memanfaatkan kemerdekaan tersebut tanpa batasan. Karena tidak adanya batasan itulah yang muncul kemudian berupa ujaran kebencian, provokasi dan segala macamnya.
Padahal kebencian dan provokasi tersebut bisa melahirkan ucapan dan perilaku yang intoleran, bahkan di beberapa kasus ada yang rasis. Dalam kasus Abu Janda misalnya, ketika mencuit Natalius Pigai, mantan komisioner Komnas HAM asal Papua, akhirnya ramai dan berujung pada pemeriksaan di kepolisian. Cuitan tersebut diduga bernuansakan rasisme. Bahkan dia juga sempat mengatakan Islam arogan. Ucapan, cuitan atau unggahan di ruang publik ini, semestinya bisa dijaga dan tetap mengedepankan etika.
Salah satu hal yang perlu diketahui adalah Indonesia merupakan negara dengan tingkat keberagaman yang sangat tinggi. Suku-suku yang tersebar dari Aceh hingga Papua, mempunyai karakter yang berbeda. Tidak hanya sifatnya, budaya, adat istiadat, bahasa lokal dan keyakinannya pun juga berbeda.Â
Betul mayoritas masyarakat Indonesia memeluk Islam, namun Indonesia bukanlah negara Islam. Indonesia adalah negara yang beragama, yang menghargai dan menghormati agama-agama lain. Itulah kenapa negara pun juga memberi kebebasan sepenuhnya kepada warga negaranya, untuk memeluk agama dan kepercayaannya sesuai keyakinannya masing-masing.
Sekali lagi, mari kita jaga ruang publik dimanapun itu, menjadi ruang yang aman dan nyaman untuk siapa saja. Jangan didominasi oleh kelompok tertentu, jangan pula digunakan untuk menyebarkan kebencian, kegaduhan, atau hal-hal yang tidak baik. Ruang publik harus bisa merangkul keberagaman. Karena kita adalah warga negara Indonesia yang sejatinya sudah beragam sejak dulu, maka keberagaman di negeri ini juga harus mendapatkan penghargaan oleh semua pihak. Salam damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H