Beberapa pekan lalu, kembali terjadi aksi pemenggalan kepala yang dilakukan oleh kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Kelompok pimpinan Ali Kalora ini, dulu sempat dipimpin oleh Santoso. Kelompok ini juga telah memutuskan berafiliasi dengan jaringan teroris ISIS. Setelah Santoso berhasil ditembak aparat keamanan, kelompok ini menghilang begitu saja. Ali Kalora yang menjadi buron juga tidak ada berita lanjutannya. Belakangan, kelompok ini tiba-tiba muncul dan melakukan aksi teror untuk menunjukkan eksistensinya.
Mungkin bagi sebagian masyarakat awam ada yang bertanya, kenapa mereka bisa terpapar terosisme? Apa yang ada dibenaknya sehingga mereka mau bergabung dengan kelompok teroris? Mungkin masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang muncul, yang mengarah kepada keputusan sebagian masyarakat yang memilih menjadi teroris. Bagaimana mungkin mereka bisa terpapar? Bagaimana mungkin sebuah keluarga di pedalaman Lemban Tongoa, Palolo, Sigi Sulawesi Tengah menjadi korban serangan teroris kelompok Ali Kalora.
Apa yang terjadi di Sigi merupakan salah satu contoh, bahwa aksi terorisme harus menjadi musuh bersama. Namun, tidak sedikit dari masyarakat yang sadar, bahwa bibit radikalisme dan terorisme itu ada di sekitar kita. Salah satunya adalah penyebaran bibit radikal melalui pesan kebencian dan provokasi, yang disusupkan melalui dakwah-dakwah para tokoh agama. Maraknya ujaran kebencian dan provokasi, sangat terbuka mudah terpapar paham radikalisme. Apalagi jika masyarakat yang literasinya rendah mempercayai hoaks sebagai sumber informasi kebenaran.
Seperti kita tahu, salah satu penyebaran konten radikali seringkali disebarkan melalui dakwah. Baik dakwah secara langsung atau virtual. Apa salahnya keluarga yang ada di pedalaman Sigi tersebut? Apakah mereka mengganggu kelompok teroris? Peristiwa ini terjadi karena para anggota MIT tersebut sudah terpapar radikalisme. Dan bibit radikalisme ini merupakan akar dari terorisme.
Banyak analisa yang menyertai munculnya kembali jaringan MIT ini. Bisa jadi kemunculan kelompok ini untuk menunjukkan eksistensinya. Terlebih setelah peledakan bom gereja di Surabaya beberapa tahun lalu, praktis tidak ada aksi ledakan kelompok terorisme. Kekosongan ini bisa jadi dimanfaatkan kelompok MIT untuk muncul. Namun bisa juga kemunculan mereka memanfaatkan kegaduhan yang terjadi belakangan ini.
Dakwah yang mengandung konten radikal, umumnya seringkali mereduksi pemahaman agama. Misalnya seruan jihad sudah berulangkali dimunculkan. Jihad yang benar adalah melawan hawa nafsu, bekerja untuk keluarga, atau aktifitas positif lain yang bisa memberikan kontribusi positif. Dalam dakwah radikal seringkali jihad dimaknai menegakkan agama Allah dengan cara apapun. Ada yang melalui persekusi, hingga meledakkan diri. Dan belakangan, Rizieq Shihab juga berkali-kali menyerukan ajakan jihad yang entah ditujukan kepada siapa. Hal semacam ini tidak perlu dijadikan acuan. Islam yang sesungguhnya tidak pernah menganjurkan untuk menyakiti, membenci atau menghujat orang lain.
Bibit radikalisme yang disusupkan melalui konten dakwah, harus diwaspadai bersama. Dan sebagai masyarakat awam, mari belajar agama yang benar. Mari membekali diri dengan pemahaman kebangsaan yang benar. Dan mari bekali dengan literasi yang benar. Sehingga kita tidak akan mudah percaya dengan informasi-informasi yang cenderung mengandung konten kebencian. Dan sebagai generasi penerus yang melek digital, saat nya untuk aktif menebar pesan damai, agar masyarakat yang telah terpapar konten radikali, bisa kembali ke jalan yang benar. Salam literasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H