Banyak orang yang memperkirakan, penyebaran hoaks dan hate speech yang meningkat sebelum pilpres dan pileg 2019 akan berkurang setelah pesta demokrasi itu berlangsung. Tapi kenyataannya, usai perhelatan politik itu dilakukan, hoaks dan hate speech masih tetap ada. Bahkan, kepolisian sempat menyatakan bahwa jumlahnya mengalami peningkatan sekitar 40 persen.Â
Provokasi tersebut umumnya berusaha mengajak seseorang untuk berbuat keonaran. Praktek semacam ini tentu akan berpotensi memunculkan konflik-konflik baru di tengah masyarakat. Apalagi, kedua belah pihak sama-sama mengklaim menang dalam pilpres 17 April 2019 kemarin.Â
Jika masyarakat tidak cerdas dalam menyikapi setiap informasi, melakukan cek dan ricek, agar tidak mudah terprovokasi dengan informasi hoaks dan hate speech.
Di era milenial ini, membekali diri dengan literasi media sangat penting dilakukan. Meningkatkan budaya baca juga harus ditingkatkan oleh semua orang. Hoaks dianggap benar karena tingkat literasi masyarakat yang masih rendah. Hate speech dianggap benar karena masyarakat tidak menggunakan logikanya, dalam mencerna sebuah informasi.Â
Ketika informasi itu dikatakan oleh tokoh tertentu, sebagian masyarakat langsung saja mempercayai. Padahal, informasi tersebut setelah dilakukan cek ricek belum tentu benar.Â
Kasus hoaks Ratna Sarumpaet mungkin bisa kita jadikan contoh. Pertama kali muncul, semua tokoh politik langsung mempercayai, menyebarkan, dan memberikan statement. Namun setelah terbukti hoaks, semuanya ramai-ramai mengeluarkan permintaan maaf.
Kasus diatas hanyalah salah satu contoh dari sekian banyak hoaks dan hate speech yang terjadi di negeri ini. Dan hampir semua hoaks dan kebencian itu, disebarkan melalui media sosial. Karena itulah, sebagai generasi yang hidup di era kemajuan teknologi, penyebaran pesan damai juga harus dilakukan di media sosial. Karena masyarakat juga butuh informasi yang menyejukkan.Â
Apalagi masa pasca pilpres masih berpotensi dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab, untuk membuat kerukunan dan toleransi di negeri ini terganggu. Ingat, sentimen SARA masih saja terus dimunculkan sebelum dan setelah pemilu.
Mari kita introspeksi. Untuk apa menyebarkan hoaks dan kebencian di negeri sendiri? Ibarat kita tinggal di sebuah rumah, tapi rumah itu kita kotori dengan sampah tapi kita masih tinggal di dalamnya. Akibatnya, kita akan tinggal dalam lingkungan yang tidak sehat, dan rentan terpapar penyakit dari sampah tersebut.Â
Begitu juga dengan penyebaran hoaks dan hate speech di rumah yang bernama Indonesia ini. Kita semua lahir dan tumbuh di rumah Indonesia. Jika rumah tersebut dipenuhi dengan sampah kebencian dan kebohongan, tentu penghuninya akan mudah terpapar penyakit negative tersebut. Karena itulah kita semua harus membersihkan segala bentuk penyakit yang ada di 'rumah' Indonesia ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H