Indonesia dikenal sebagai negara dengan keramahtahamannya. Indonesia juga dikenal dengan keragaman suku, budaya, dan adat istiadat yang melekat didalamnya. Suku-suku ini sudah ada jauh sebelum Indonesia berdiri sebagai sebuah negara. Suku-suku ini tentu juga mempunyai tradisi yang saling berbeda.Â
Namun perbedaan tetap membuat mereka bisa hidup saling berdampingan. Bahkan ketika Islam masuk ke tanah Jawa, yang mayoritas masyarakatnya waktu itu sudah memeluk Hindu dan Budha, tetap bisa menerima Islam dengan terbuka. Hingga akhirnya Islam menjadi mayoritas di negeri ini. Namun, para pendiri negeri ini tetap menegaskan, bahwa Indonesia bukanlah negara Islam, tapi negara yang beragama.
Keragaman yang terjadi di Indonesia ini tentu bukan keinginan para nenek moyang. Keragaman ini merupakan anugerah Tuhan yang harus terus dijaga oleh generasi penerus, termasuk para generasi milenial. Banyak nilai-nilai kearifan lokal yang perlu terus kita lestarikan dan kenalkan pada generasi selanjutnya.Â
Nilai-nilai toleransi yang diajarkan dan dijunjung tinggi oleh semua orang dari suku manapun di Indonesia, wajib kita jaga. Rasa tenggang rasa dan gotong royong yang sudah dikenalkan sejak dulu, juga harus kita terus pupuk dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Namun di tahun politik ini, semangat kerukunan, semangat toleransi dan gotong royong, pelan-pelan terus dikikis oleh bibit kebencian, intoleransi dan radikalisme. Ujaran kebencian terus mengalami penguatan ketika memasuki masa kampanye pilpres 2019. Timses terus melakukan berbagai cara, untuk menaikkan atau menjatuhkan elektabilitas pasangan calon.Â
Berbagai cara pun mereka lakukan. Termasuk salah satunya dengan menebar hoax dan bibit kebencian. Cara-cara semacam ini tentu sangat disayangkan. Proses mendapatkan pemimpin yang demokratis semestinya bisa dilakukan dengan cara-cara yang santun, bukan dengan cara menebar sentimen SARA, hoax dan kebencian.
Pesan-pesan kebencian dan hoax itu terus disebarkan melalui media sosial dengan berbagai kemasan. Tidak sedikit pula dari masyarakat yang begitu mudah mempercayai informasi bohong tersebut. Masih rendahnya literasi di tingkat masyarakat, membuat kabar bohong itu cepat mempengaruhi masyarakat dan sebagian dianggap sebagai sebuah kebenaran.Â
Untuk itulah, perlu upaya seris dari semua pihak untuk menekan maraknya hoax dan ujaran kebencian ini. Para generasi tua harus aktif mengenalkan nilai-nilai kearifan lokal yang sudah ada sejak dulu. Para pendidik juga harus terus mengajarkan bagaimana cara bertutur dan berperilaku yang santun. Dan para generasi milenial yang aktif di media sosial, juga harus aktif menebarkan pesan-pesan damai yang menyejukkan.
Para ulama, para tokoh masyarakat dan seluruh pihak yang hidup di era milenial ini, harus menjadi pahlawan penyebar kedamaian. Tidak ada gunanya menyebar kebencian, apalagi ditujukan kepada sesama warga negara.Â
Menebar kedamaian jauh lebih penting dibandingkan menebar kebencian. Jadikan media sosial sarana untuk menebar perdamaian. Biarlah masyarakt menikmati proses pemilu presiden dan wakil presiden ini bisa berjalan dengan tenang, tanpa harus ada intervensi semua pihak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H