Masih ingat moment Piala Dunia Russia 2018 ?Â
Beberapa bintang sepakbola berlaga di moment itu, diantaranya Ronaldo yang memperkuat Portugal, Messi di belakang Argentina, Neymar (Brazil) dan Mesut Ozil yang bermain untuk timnas Jerman. Sang juara Piala Dunia 2018 , Perancis, punya beberapa pemain bintang tetapi tidak setenar nama-nama di atas.
Sebelum moment itu berlangsung, ratusan juta orang yang menggemari sepakbola menyatakan dukungan pada timnas Jerman dan Brazil, karena di situ ada Ozil dan Neymar. Ozil yang membawa kejayaan Jerman pada 2009, dan 2014. Ia adalah pesepakbola Jerman dengan biaya transfer termahal ketika dia ditarik ke Real Madrid dan Arsenal. Jutaan orang juga mendukung Portugal dan Argentina karena di situ ada Ronaldo dan Messi. Di bursa taruhan, Jerman, Brazil, Portugal dan Argentina adalah tertinggi, sedangkan Perancis adalah tim yang awalnya tidak diunggulkan termasuk pasar taruhan.
Baru-baru ini kita dikejutkan oleh pernyataan Ozil yang menyatakan bahwa dirinya mundur dari tim nasional Jerman karena perlakuan rasisme dan merasa tidak dihormati. Dalam twitternya dia berujar bahwa Sepakbola nasional Jerman (DFG) dan para pendukung, dirinya (Ozil) adalah seorang Jerman ketika menang tetapi hanya seorang imigran ketika Jerman kalah. Ozil merasa jadi kambing hitam atas kekalahan Jerman.
Ozil merasa diperlakukan berbeda, terlebih karena pertemuannya dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Kejadian foto itu sebelum pemilihan presiden Turki dan sebelum Piala Dunia berlangsung. Ozil memang keturunan Turki. Ayah ibunya berdarah Turki tapi Ozil sendiri lahir di daerah pertambangan batubara Gelsenkirchen yang terletak 74 utara kota Koln pada tahun 1988.
Padahal sebagai personal yang punya kaitan darah dengan negara Turki, upayanya berfoto bersama dengan Endorgan jauh dari motivasi politik, tapi hanya berdasarkan kaitan sejarah keluarganya. Dengan Endorganpun, dia hanya bicara soal kegemaran Endorgan bersepakbola ketika masih muda. Endorgan memang sempat menjadi kontroversi masyarakat dunia karena dukungannya terhadap Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir. Mesir merasa Turki terlalu mencampuri urusannya, dan sentiment Mesir terhadap Turki itu meluas ke seluruh dunia.
Di titik ini kita perlu kembali melihat soal rasisme yang masih banyak dilakukan oleh masyarakat Internasional. Selain soal Ozil di Jerman, kita juga kembali melihat kenyataan bahwa UU Negara Bangsa Yahudi diberlakukan di wilayah Israel. Padahal di sana terdapat banyak masyarakat internasional yang tidak beragama dan berbangsa Yahudi. Â UU itu menolak Arab sebagai salah satu bahasa resmi.
Lahirnya kebijakan ini jelas bertentangan dengan HAM dan semangat (semua) agama yang menolak superiotas etnik dan bangsa tertentu. Agama itu membawa kedamaian dan persaudaraan dan bukan pertentangan dan pemecah belah. Agama adalah benteng terdepan untuk menolak rasisme dan menguatkan persaudaraan.
Sama halnya dengan Ozil yang merasa diperlakukan secara rasis karena prestasinya yang berbeda dengan harapan masyarakat dank arena asal usulnya sebagai keturunan Turki dan beragama Islam. Seharusnya agama menjadi landasan berfikir semua masyarakat Internasional. Timnas Perancis bersyukur bahwa -terlepas dari prestasinya menjadi juara Piala dunia 2018- tapi  negara dan masyarakat Perancis menghargai multikulturalisme yang ada di Timnas termasuk perbedaan agama, dan itu sudah berlangsung lama sejak tim itu diperkuat Zidane yang berdarah Aljazair.
Kita wajib bersyukur berada di Indonesia yang mayoritas menghargai perbedaan dan membuat keberagaman yang ada menjadi pengikat persaudaraan. Masing-masing agama di Indonesia telah menterjemahkan perbedaan itu dengan baik; bahwa agama adalah pengikat persaudaraan dan bukan menjadi sekat berbangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H