Pacaran, sebagai praktik intim antara dua individu sebelum pernikahan, telah menjadi sebuah fenomena yang lazim di masyarakat modern. Namun, dalam banyak agama, termasuk Islam, pacaran dianggap sebagai sesuatu yang diharamkan atau setidaknya tidak dianjurkan. Hal ini karena adanya pandangan bahwa pacaran dapat membawa dampak negatif secara moral dan spiritual bagi individu yang terlibat. Tulisan ini akan menjelaskan mengapa pacaran dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai agama, dampak dari normalisasi pacaran, serta alternatif yang lebih sejalan dengan nilai-nilai keagamaan.
Pertama-tama, dalam Islam, pacaran dianggap sebagai suatu perilaku yang melanggar batasan-batasan agama yang mengatur interaksi antara pria dan wanita. Al-Qur'an dan hadis menyatakan bahwa hubungan antara pria dan wanita harus dijaga dalam batas-batas yang jelas, yaitu dalam pernikahan. Hal ini untuk mencegah timbulnya perbuatan zina (seks di luar nikah) dan untuk menjaga kesucian serta martabat individu, baik pria maupun wanita.
Dalam konteks lainnya, seperti dalam agama-agama Kristen dan Yahudi, konsep moralitas yang serupa juga ditekankan, di mana hubungan intim antara pria dan wanita diharapkan terjadi dalam ikatan pernikahan yang sah. Hal ini bukan hanya untuk menjaga moralitas sosial, tetapi juga untuk membangun fondasi keluarga yang stabil dan berkelanjutan.
Kemudian, dampak dari normalisasi pacaran di masyarakat modern bisa sangat beragam. Secara psikologis, pacaran tanpa tujuan yang jelas bisa menyebabkan stres emosional dan kecemasan, terutama jika hubungan tersebut tidak berakhir dengan pernikahan yang diharapkan. Secara sosial, normalisasi pacaran dapat mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap nilai-nilai tradisional dan agama, sehingga mengubah pandangan tentang pentingnya komitmen dalam hubungan.
Dari perspektif agama, normalisasi pacaran juga dapat mengaburkan batasan-batasan yang telah ditetapkan untuk melindungi individu dari godaan dan kemungkinan jatuhnya dalam dosa-dosa besar seperti zina. Agama-agama menekankan pentingnya menjaga kesucian dan moralitas dalam setiap interaksi antara pria dan wanita, sehingga normalisasi pacaran yang tidak terikat oleh komitmen pernikahan dapat memperlemah fondasi moral dalam masyarakat.
Sebagai alternatif, agama-agama menawarkan pendekatan yang lebih baik dan lebih sejalan dengan nilai-nilai mereka, yaitu pendekatan dalam mencari pasangan hidup melalui proses yang lebih terstruktur dan bermartabat seperti perkenalan yang diawasi oleh keluarga, atau melalui bimbingan dari figur agama atau lebih dikenal dengan taaruf dalam agama Islam. Dengan pendekatan ini, tujuan utama adalah untuk membangun hubungan yang dilandasi oleh komitmen, pengertian, dan kesepahaman yang kuat antara kedua belah pihak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H