Pelecehan seksual merupakan perilaku, ucapan, isyarat, atau pendekatan yang berkaitan dengan hubungan badan yang tidak diinginkan oleh satu pihak, penyerang biasanya memiliki tujuan yang buruk dan dilakukan untuk mengancam atau mengintimidasi korban.Â
Pelecehan dapat terjadi pada siapapun, tidak memandang gender, usia, waktu dan tempat. Meskipun pernyataan bahwa pelecehan tidak memandang gender adalah benar, nyatanya fakta memperlihatkan jika kaum perempuanlah yang sering menjadi objek sasaran atas perilaku bejat kaum pria yang tidak bertanggungjawab.Â
Lagi dan lagi kasus pelecehan seksual kembali terjadi di tanah air. Mengutip laman CNN Indonesia, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan meningkat selama pandemi.Â
Sejak tahun 2020 lalu sampai Juni 2021, Komnas Perempuan telah menerima 2.592 kasus. Bahkan memasuki penghujung tahun 2021, kasus pelecehan seksual mengalami kenaikan. Mirisnya salah seorang korban dari kasus ini sampai melakukan tindakan bunuh diri.
Dari jumlah tersebut, diantaranya adalah kasus seorang mahasiswi Universitas Sriwijaya yang berinisial NW. Ia bunuh diri dengan menenggak racun karena depresi setelah dibius kemudian diperkosa sampai hamil dan dipaksa aborsi oleh sang pacar yang merupakan anggota polri. NW ditemukan tewas pada 2 Desember tepat di samping makam ayahnya yang berada di TPU Dusun Sugihan di Mojokerto, Jawa Timur.
Kedua, kasus pemerkosaan terhadap 21 santri dibawah umur yang dilakukan oleh pemilik pondok pesantren di Bandung. Pelaku bernama Heri Wiriawan, Sudah ada 9 bayi yang dilahirkan dan dua masih dalam kandungan. Ketiga, pelecehan yang dialami 4 mahasiswa Universitas Sriwijaya oleh dua dosen berbeda. Salah satu pelaku bernama Aditya Rol Asmi. Pelaku melancarkan tindakannya dengan melakukan modus seperti mengirimkan pesan WhatsApp tidak senonoh.
Keempat, kasus pemerkosaan terhadap anak di bawah umur yang dilakukan guru agama berinisial M. Pelaku adalah seorang ustaz berumur 51 tahun. Kasus ini terjadi di Cilacap dan terungkap pada 24 November. Aksi pelaku dilakukan saat jam istirahat, modusnya adalah dengan mengiming-imingi korban agar dapat nilai agama yang bagus. Serta masih banyak lagi kronologi kasus pelecehan seksual lainnya.
Melihat dari sekian banyak kasus pelecehan seksual yang terjadi terutama dari keempat kasus diatas, menunjukkan bahwa kebanyakan korban selalu mendapat ancaman sebelum pelaku melancarkan aksinya. Sehingga membuat korban takut untuk melaporkannya.Â
Bukan hanya itu saja, ketika korban melaporpun justru polisi tidak menanggapi dengan serius bahkan ada yang mempersulit keadaan saat korban melapor. Dengan kata lain, kasus pelecehan seksual seringkali berakhir buntu diproses hukum.
Jika hal seperti ini terus terjadi, maka kekerasan seksual semakin merajalela. Sebab akan lebih banyak lagi oknum-oknum yang bermunculan dengan pemikiran bahwa polisi tidak akan mengambil tindakan tegas. Akhirnya mengakibatkan posisi kaum perempuan terancam karena tidak adanya tempat pengaduan untuk keadilan.
 Dengan tindakan aparat seperti itu, secara tidak langsung nilai-nilai yang menempatkan perempuan sebagai objek sudah tertanam dan masuk kedalam struktur di masyarakat. Sehingga menjadi tradisi yang membuat kekerasan seksual seolah dianggap normal dan tak perlu dipersoalkan.
Dalam hal ini harusnya menjadi pandangan serius untuk semua masyarakat bahwa kurang contoh angka apalagi yang membuat semua pihak bisa sadar dan melihat bahwa kekerasan seksual adalah persoalan genting yang tidak boleh ditunda-tunda lagi penyelesaiannya.Â
Karena yang melahirkan peradaban tidak pantas untuk dilecehkan. Sudah sepantasnya perlindungan hukum terhadap perempuan tidak bisa dianggap sebelah mata. Negara harus bertindak keras, setiap pelaku wajib ditindak seadil mungkin dan semua kasus pelecehan seksual harus dikawal sampai tuntas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H