".... Aku benci bus kota. Berdiri atau duduk, bayarnya tetap sama: lima belas ribu. Jalan tol macet. Jalan biasa juga macet. Tidak pernah ada waktu yang pasti. Kota ini tidak bisa ditebak. Jalanannya, cuacanya, pemimpinnya, dan masalah-masalahnya yang dibuat seolah tidak pernah ada...."
 (Rintik Sedu, 2023:15).
Begitulah penggambaran kota Jakarta dari seorang wanita bernama Alina. Wanita dewasa yang belum menyentuh usia 30 tahun itu tertulis dalam novel "Pukul Setengah Lima" karya Rintik Sedu.Â
Buku terbitan Gramedia Pustaka Utama itu bercerita tentang Alina yang membenci hidupnya dan menjelma menjadi seseorang yang baru. Seseorang dengan penuh kepura-puraan, seolah hidupnya hanyalah permainan peran. Pukul setengah lima menciptakan dirinya yang lain, Marni namanya. Kebohongannya tak larut membawanya pada keindahan. Melainkan, membawanya lebih jauh dari kenyataan.Â
Novel yang terbit sekitar Agustus lalu itu menyuguhkan kebohongan di balik Jakarta maupun Alina yang sama-sama membawa mereka pada hal-hal ajaib. Jakarta yang nanti tidak lagi menjadi Ibu kota itu perlahan kehilangan riuhnya. Sosok di balik pukul setengah lima yang ditemui Alina berhasil mengubahnya menjadi wanita dengan ragam rahasia di balik mata (bagus)nya. Alina yang membenci hidupnya, perlahan melakoni peran yang tidak pernah ia duga.Â
Kota Jakarta, secara utuh menjadi latar dari 206 halaman di novel itu. Polemik hebat yang terjadi tentang masalah transportasi, kemacetan, keriuhan, kesangaran dan kehangatan Jakarta terjamah pula dalam novel ini. Karya sastra yang menjadi cerminan dari realitas sosial menyuguhkan kenyataan secara tertulis dengan mengatasnamakan fiksi.Â
Pengarang yang juga seorang masyarakat memosisikan dirinya dengan kejadian, realita dan pengalamannya sehingga hal-hal yang tertuang dalam karyanya merupakan realitas yang ada. Nadhifa Allya Tsana sosok di balik Rintik Sedu yang bertempat lahir di Jakarta. Tentunya, penggambaran tentang kota itu begitu nyata hingga sampai ke rutinitas orang-orangnya.Â
Hari-hari yang dijalankan Alina membawanya membelah Jakarta dengan segudang rahasia dan tanda tanya. Peristiwa yang digambarkan dalam novel itu sesungguhnya tengah terjadi kini.Â
Kebebasan dari pandemi melahirkan momen baru bagi sebagian orang. Penggambaran mengenai peristiwa kini, memberi kesan dan pesan tentang bagaimana manusia mewarnai hidupnya. Berbeda dengan tokoh Alina yang memilih mengkontraskan warna hidupnya menjadi hitam dan putih. Sampai pada kedatangan pukul setengah lima di Jakarta  yang mulai membuatnya menyukai warna.Â
Kedatangan pukul setengah lima dalam novel itu bukan hanya sekedar penanda waktu melainkan nama seseorang yang ditemuinya pada pukul setengah lima.Â
Bagi sebagian orang, pukul setengah lima hanya berupa waktu sore hari di mana semuanya sibuk untuk kembali. Pertemuan yang melaju menjadi perbincangan, keduanya dipertemukan di tengah kemacetan Jakarta melahirkan makna berbeda dari sekedar macet di Jakarta.Â