Mohon tunggu...
Halilintar Putra Petir
Halilintar Putra Petir Mohon Tunggu... -

[Bukan siapa-siapa. Orang kampung dari ujung timur Madura, Sumenep. Mengabdi untuk kemanusiaan di Jogja]

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik (Pendidikan) Pancasila

26 Mei 2011   16:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:10 1057
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dihapuskannya Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan menjadi hanya Pendidikan Kewarganegaraan di semua jenjang Pendidikan membawa konsekuensi ditinggalkannya nilai-nilai Pancasila (Kompas, 6 Mei 2011).

Eksistensi Pancasila, terutama dalam bidang pendidikan, dipengaruhi oleh politisasi Pancasila pada masa pemerintahan Orde Baru. Euforia keterbukaan di era reformasi memungkinkan banyak kalangan menggugat politisasi Pancasila tersebut.

Tahun 2002 hingga 2003, seputar perumusan UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) sesungguhnya tersedia momentum untuk merefleksikan urgensi ideologi nasional dalam politik pendidikan. Sayang sekali, energi kita waktu itu lebih banyak dihabiskan untuk memperdebatkan pendidikan agama, dan nyaris mengabaikan isu lain, seperti liberalisasi dan komersialisasi pendidikan serta ignoransi Pancasila.

Pemerintah Orde Baru barangkali tidak menghitung bahwa politisasi Pancasila dalam rangka desukarnoisasi dan depolitisasi warga negara akan gagal total, yang pada akhirnya mempertaruhkan “kredibilitas” Pancasila dalam diskursus nasional. Desukarnoisasi dimulai segera setelah Soeharto mengambilalih kekuasaan. Politisasi untuk “menghapus Sukarno dari ingatan publik” terus berlanjut. Sejak tahun 1970, Komando Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) melarang Peringatan Kelahiran Pancasila 1 Juni.

Desukarnoisasi berlanjut melibatkan akademisi melalui “teori” pengaburan peran sejarah Sukarno. Sejak tahun 1978, Pemerintah Orba menegaskan Soehartoisasi Pancasila; dalam arti politisasi Pancasila melalui tafsir tunggal Pancasila versi Rezim Soeharto.

Fase Pancasila di era rezim Soeharto inilah yang disebut Asvi Warman Adam (2009) sebagai gelombang rekayasa.Rekayasa yang dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru melahirkan dampak tak terbayangkan. Selain gagal memaksa rakyat Indonesia melupakan Sukarno, pemerintahan Soeharto melahirkan trauma kolektif atas politisasi Pancasila.

“Kapok massal” tersebut melahirkan gugatan depolitisasi. Pancasila dipersoalkan secara formal, meski secara substantif merupakan konstruksi ideal filosofis sebagai ideologi negara.

Beban PKn?

Pancasila masuk sebagai mata pelajaran pada 1976, melalui subjek Pendidikan Moral Pancasila (PMP), menggantikan Civics (Kewarganegaraan). Kebijakan Pemerintah Orba itu dapat dibaca sebagai bagian dari politisasi, dalam makna negatif. Politik pendidikan tersebut berorientasi pada indoktrinasi Pancasila yang ditafsir tunggal Pemerintah.

Padahal, keduanya punya titik tekan berbeda. Pendidikan kewarganegaraan (civic education) yang sejak pemerintahan Sukarno sudah ada, dan dalam dunia pendidikan hampir seluruh negara dibelajarkan, orientasi dominannya adalah pendidikan politik dan penguatan kapasitas politik warga negara (political capacity building). Sementara Pendidikan Pancasila merupakan diseminasi ideologis untuk memperkuat nalar (kognitif/knowledge), rasa (afektif/disposition), dan laku (psikomotor/skill) ideologis warga negara.

“Hilangnya” Pendidikan Pancasila dari dunia pedagogis kita resmi sejak diundangkannya UU Sisdiknas, dimana Pendidikan Pancasila menurut Pasal 37 bukan lagi muatan wajib seluruh jenjang pendidikan. Subjek ideologis ini kehilangan locus formal dalam pembelajaran. Sesuai UU, beberapa perguruan tinggi “berani” menghapus Pendidikan Pancasila dalam kurikulumnya.

Dalam realitas semakin merapuhnya pondasi ideologis bangsa, Pancasila dalam politik pendidikan mestinya dikukuhkan. Dua pendekatan perlu digunakan sekaligus: subjek dan integrasi. Pendekatan subjek artinya menjadikan Pancasila sebagai mata ajar khusus. Di level dasar dan menengah, dengan mempertimbangkan beban belajar siswa, Pancasila cukup dibelajarkan dalam satu dua Kompetensi Dasar dalam Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Di perguruan tinggi, Pendidikan Pancasila dapat dibelajarkan sebagai kurikuler wajib 2 SKS.

Sedangkan pendekatan integratif artinya menempatkan orientasi pada Pancasila sebagai ideologi negara harus menyatu dalam berbagai subjek. Orientasi pada Pancasila bukan hanya beban PKn tapi juga pendidikan agama, ekonomi, dan bahkan eksakta. Tak banyak manfaat bila dalam PKn pendidik menekankan orientasi Pancasilais sementara guru/dosen ekonomi menertawakan nilai pancasila seperti keadilan sosial dan kegotongroyongan ekonomi (koperasi). Tidak efektif bila dalam PKn diinternalisasi nilai-nilai Pancasila sedang dosen/guru Pendidikan Agama Islam mendoktrinkan qishash, sebagaimana digelisahkan para wali siswa di Jakarta belakangan ini.

Tulisan ini dimuat di Rubrik Opini harian KOMPAS, tanggal 9 Mei 2011. http://nasional.kompas.com/read/2011/05/09/05483611/Politik.Pendidikan.Pancasila

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun