Di arena publik yang pekat dengan politik, keberagamaan di Indonesia diwarnai dengan problematika serius. Benturan kerap menyeruak di keseharian bangsa religius ini. Akan tetapi dalam ruang-ruang nir-politik umat beragama menunjukkan solidaritas transendental yang sakral. Kalau kita refleksikan fenomena keseharian, mudah diidentifikasi kontras tersebut.
Pasca berbagai bencana alam, dengan mudah kita saksikan imam shalat mengajak jama’ah untuk melaksanakan shalat ghaib bersama bagi para korban. Demikian yang terjadi pasca tsunami Mentawai, menyusul banjir bandang Wasior, atau setelah erupsi Merapi. Merespon berbagai bencana yang menelan korban besar, terutama korban jiwa, shalat ghaib pasti didirikan oleh ribuan atau bahkan jutaan jama’ah di berbagai masjid, tanpa menimbang apa agama para korban selama hidup.
Potret tersebut tentu kontras dengan fragmen yang lain. Laskar keagamaan tertentu dengan sangat mudah melakukan opresi atas yang lain (the other). Instrumentasi kekerasan atas alasan apapun mestinya tak ditoleransi. Mengapa mereka cenderung dibiarkan? Laskar-laskar tersebut di lain wajah hadir sebagai “industri” keamanan, yang beririsan dengan aparat negara. Dalam kadar tertentu ada rona “simbiosisme mutualis”. Belum lagi, kalau kita hitung sengkarutnya dengan partai politik, dimana pada setiap Pemilu, mereka menjadi alat mobilisasi suara yang signifikan bagi parpol tertentu.
Dalam pekat kadar politik yang tak jauh berbeda, SKB Tiga Menteri kerap menjadi stimulan bagi sekelompok warga yang “terpaksa” mengusir minoritas dari peribadatan mereka. SKB yang sama sering menjadi determinan legal bagi aparat untuk menyegel tempat ibadah pemeluk agama minoritas seperti yang berulang terjadi di daerah DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.
Majelis Ulama Indonesia, di ranah yang sama, sering hadir sebagai alat negara, daripada wadah para pemimpin muslim untuk mewujudkan Islam, yang kelompok pemeluknya sendiri heterogen, sebagai agama rahmatan lil ‘aalamiin. Beberapa fatwa mereka berlawanan dengan pandangan sebagian besar umat Islam di kalangan akar rumput, civil society, dan perguruan tinggi.
Fenomena Negara Islam Indonesia (NII) yang belakangan banyak mengisi diskursus publik sesungguhnya lebih banyak dideterminasi kepentingan-kepentingan politik-ekonomi. Ringkihnya postur negara dapat dengan mudah dikapitalisasi oleh kelompok tertentu dengan mengibarkan bendera agama.
Solidaritas dan Agama Kemanusiaan
Seperti yang ditunjukkan dalam keseharian pemeluk agama di muka, setiap respon luhur atas korban bencana atau musibah dapat dikerangkai dalam konsep solidaritas. Solidaritas dalam kegiatan praktis hadir dalam bentuk pemberian barang, bantuan, hadiah, dan perhatian. Gerakan nasi bungkus pasca beberapa bencana, dompet kemanusiaan, dan voluntarisme sosial sebagian manifestasi dari solidaritas. Solidaritas merupakan produk dari bekerjanya mekanisme integratif sistem sosial. Titik terminasi mekanisme sosial integratif tersebut, menurut Auguste Comte (1973), adalah agama kemanusiaan (religion of humanity).
Konsep agama kemanusiaan merupakan ide ambisius Comte melawan arus meluasnya pengaruh konsepsi individualis dalam ekonomi dan produksi yang mengiringi berkembangnya ideologi laissez-faire di Eropa pada tahun-tahun awal abad ke-19. Agama, dalam kaca mata Comte, merupakan keadaan istimewa adanya harmoni sempurna kehidupan manusia.
Agama kemanusiaan merujuk pada aras dimana seluruh kehidupan manusia tertib dan tentram dalam relasi natural satu sama lain, dimana nalar dan emosi hadir dalam keseimbangan dan integrasi. Agama kemanusiaan—yang merangkum kesatuan ide dan nilai—akan menciptakan sistem sosial altruistik yang akan menjinakkan insting egoistik. Kedirian perseorangan (individual personality) tidak dikorbankan, namun disubornasi oleh kepentingan sosial untuk terwujudnya social advancement atau kemajuan bersama (Steinar Stjernø, 2005).
Agama kemanusiaan dapat memroduksi kesatuan personal dan menyatukan nalar dan rasa dalam setiap individu, serta menciptakan kesatuan sosial di antara para individu. Afeksi (moral, emosional) berbasis refleksi (intelektual)—afeksi dan refleksi dalam pandangan Comte adalah kesatuan fungsi sosial, disamping aktivitas praktis—akan mempersatukan manusia secara universal dalam perasaan yang sama dan kepercayaan yang sama, dan jalan tersebut akan merestorasi harmoni sosial yang dalam banyak situasi dikacaukan oleh insting egoistik.
Ketuhanan yang Berkebudayaan
Apabila dikontekstualisasi ke Indonesia, mungkinkah agama ketuhanan (divine religion) bangsa religius ini maujud sebagai agama kemanusiaan yang menghadirkan harmoni sosial paripurna? Mungkin dan mestinya bisa. Demikianlah sesungguhnya suasana kebatinan (geistlichenhintergrund) kemerdekaan Indonesia. Wajar Sukarno merumuskan “ketuhanan yang berkebudayaan” sebagai prime cause dalam Pancasila. Dalam pidato 1 Juni di hadapan Sidang BPUPKI Bung Karno lantang berujar: “Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini…menyatakan bahwa prinsip…negara kita ialah ke-Tuhan-an yang berkebudayaan, ke-Tuhan-an yang berbudi pekerti luhur, ke-Tuhan-an yang hormat menghormati satu sama lain!”
Politik agama, keagamaan, dan keberagamaan mestinya kongruen dengan geistlichenhintergrund kemerdekaan tersebut. Dibutuhkan peniscayaan hidupnya nilai-nilai Sila Pertama dalam peraturan perundangan-undangan. Dengan demikian, terdapat standar perilaku para pihak, khususnya aparat negara, dalam merespon berbagai relasi (juga konflik) keberagamaan. Selain itu, perlu regulasi yang memastikan negara sebagai penjamin eksistensi agama-agama dan kebebasan beribadah (freedom of worship).
Di level paling akar, pemeluk agama sudah sering mengimplementasikan “agama ketuhanan” secara individual-vertikal, sekaligus secara sosial-horizontal mempraktikkan “agama kemanusiaan”. Namun kepentingan politik (juga ekonomi) individualis seringkali menyubordinasi concern sosial tersebut. Dengan bumbu transaksional politik-ekonomi di permukaan, benturan antar pemeluk agama sering tak terelakkan. Supra-politik (negara) mestinya hadir mengayomi semua (all-embracing, all-encompassing). Kenyataannya, peran itu lebih sering absen.
Tulisan ini dimuat di Rubrik Opini Harian Jogja, tanggal 26 Mei 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H