Mohon tunggu...
Halilintar Putra Petir
Halilintar Putra Petir Mohon Tunggu... -

[Bukan siapa-siapa. Orang kampung dari ujung timur Madura, Sumenep. Mengabdi untuk kemanusiaan di Jogja]

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Messi, Panna, dan Ical cs.

19 Maret 2015   15:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:25 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Barcelona lolos ke babak perempatfinal Liga Champions Eropa 2014/2015, setelah menundukkan Manchester City. Fakta yang tak terlalu mengagetkan, sebab situasi demikian sudah diprediksi oleh banyak analis. Tapi, menganalisis Messi selalu menarik, karena dia lah sang pembeda.

Pintu utama El Barca menuju babak gugur selanjutnya adalah Messi. Di luar gol yang gagal dipersempahkan La Pulga, begitu banyak kunci yang telah disodorkan Messi, seperti assist yang menaklukkan, dribbling yang memukau dan kerapkali membunuh, serta pressing yang bersih dan tak jarang intersep terhadap lawan di jantung pertahanan timnya, juga pergerakan dengan atau tanpa bola yang membuat barisan pertahanan City kacau balau. Satu kunci pamungkas dari sekian teknik sepakbola nyaris paripurna Messi yang menghancurkan pemain-pemain The Citizens adalah panna atau nutmeg magis Messi terhadap para pemain City. Teknik mengecoh pemain lawan dengan cara menggulirkan bola di antara dua kaki lawan, yang dalam istilah pop sepakbola kita disebut "ngolongi" telah mempermalukan para pemain City dan kemudian meruntuhkan moral dan kepercayaan diri mereka.

Tampaknya kita perlu melihat lagi pernyataan Gareth Bale belum lama ini, bahwa "dikolongin" itu menyakitkan, meskipun hanya dalam sesi latihan. Di Madrid, kata Bale, pemain yang menjadi objek "kolongan" dalam sesi latihan akan di-bully habis-habisan oleh pemain lainnya. Itu di sesi latihan. Apalagi jika panna tersebut dilakukan pada pemain lawan dalam pertandingan sepakbola resmi yang dihelat oleh UEFA dan ditonton oleh ratusan ribu penonton dan jutaan pemirsa televisi. Pasti, "sakitnya tuh disini". Sakit psikologis akibat panna itulah yang menurunkan mental para pemain City, seperti Silva pada pertandingan leg pertama di Manchester, serta Fernandinho dan Milner dini hari tadi(19/3).

Jangan tanya pada Milner tentang hancurnya perasaan dia kala "dikolongin" Messi. Reaksi Pep Guardiola dari tribun penonton Stadion Camp Nou malam itu waktu setempat menjelaskan bagaimana hancurnya perasaan Milner. Kalau kita tonton tayangan ulang pertandingan atau streaming atau capture videonya di Youtube, kita dapat membaca dua sisi oksimoron reaksi dan mimik Pep, mantan pelatih Messi yang pada babak selanjutnya berpeluang menjadi calon "musuh"-nya. Di satu sisi pelatih yang "besar" di Camp Nou itu menunjukkan kekaguman pada panna mematikan Messi, namun di sisi lain ia tampak iba pada Milner yang tersungkur "dikolongin" Messi.

Beberapa panna Messi itulah yang ikut meruntuhkan moral para pemain City, sehingga permainan City tidak banyak berkembang. Tindakan-tindakan konyol pemain City yang berbuah kartu kuning, menurut saya, tidak bisa dilepaskan dari hancur leburnya mentalitas mereka setelah beberapa kali "ditipu" Messi.

Sepanjang sejarah sepakbola dunia tercatat beberapa "king of panna". Maradona, Ronaldo, Ronaldinho, Cristiano, Suarez, dan Messi tentunya, adalah para "pengolong" ulung, meskipun tidak semuanya punya kepercayaan diri yang cukup untuk berani "ngolongin" pemain dengan nama besar dari negara-negara sepakbola besar. Messi termasuk dalam yang sedikit, yang berani melakukan "kolongan" pada pemain-pemain dengan nama-nama besar, pemain inti di timnas Brasil, Spanyol, dan Inggris, seperti yang ditunjukkan melawan salah satu klub papan atas Premiere League itu. Runtuhnya moral pemain lawan akibat teknik sepakbola yang mengagumkan, seperti panna, itulah yang menjadi derminan pokok kekalahan City.

Melihat kekalahan para pemain City, saya jadi ingat gembosnya Aburizal Bakrie dalam laga perebutan legitimasi kepengurusan Golkar melawan Agung Laksono. Ical pada mulanya bertahan melawan kepemimpinan gerbong Agung Laksono dengan berpijak pada dua "kaki" yang diharapkan akan menghadang laju lawan. Satu kaki adalah putusan pengadilan dan putusan Mahkamah Partai Golkar. Alih-alih kedua "kaki" itu mampu menahan laju Agung Laksono, Ical cs kemudian "dikolongin" kubu Munas Golkar hasil Munas Ancol dengan surat pengakuan Menkumham.

Maka wajar saja jika secara psikologis, para pendukung Ical gembos, mulai dari elit pusat seperti Muladi dan Mahyudin, hingga pengurus-pengurus di daerah termasuk yang selama ini dikenal sebagai pendukung tulen Ical, seperti Yogyakarta. Tidak usah ditanya hancurnya perasaan Ical cs. Maka wajar saja jika kemudian mereka melakukan tindakan-tindakan konyol, seperti melaporkan kubu Agung ke Bareskrim Polri dan mengajak kawan-kawan KMP yang "tersisa" untuk mengajukan hak angket kepada Laoly, hak angket kepada menteri yang aneh dalam sistem presidensiil. Mudah-mudahan tindakan-tindakan kubu Ical cs tidak sampai mengambil tindakan yang bisa berbuah "kartu kuning" atau "kartu merah", terutama dalam pandangan publik.

Yang jelas, sebagaimana City, Ical cs sesungguhnya telah kalah. Ical cs sebaiknya segera belajar dari City. Ucapkan selamat pada pemenang dan persiapkan diri dengan lebih baik untuk kompetisi mendatang. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun