Mohon tunggu...
Halilintar Putra Petir
Halilintar Putra Petir Mohon Tunggu... -

[Bukan siapa-siapa. Orang kampung dari ujung timur Madura, Sumenep. Mengabdi untuk kemanusiaan di Jogja]

Selanjutnya

Tutup

Politik

Negara Paranoid

26 April 2013   10:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:34 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu isu publik yang mengemuka belakangan ini adalah Rancangan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan (RUU Ormas). Berbagai kalangan telah menunjukkan respons yang sangat massif untuk melakukan penolakan atas RUU tersebut. Banyak aspek dari RUU tersebut yang telah dan harus mendapat kritik, mulai substansi hingga legitimasi dan dampak implementasinya.

Tulisan ini akan melakukan lokalisasi isu terkait dengan RUU Ormas pada dua topik: analisis raison d’etre dan problema fundamental di dalamnya.

RUU Ormas dibentuk untuk merespons beberapa situasi faktual sekaligus kekhawatiran berlebihan pada diri pemerintahan negara, antara lain: Pertama, beberapa Ormas melakukan instrumentasi kekerasan untuk menyelesaikan beberapa persoalan sosial berkaitan dengan beberapa isu aktual: minoritas agama dan keyakinan (apa yang mereka sebut sebagai aliran sesat dan sejenisnya), penyakit sosial atawa yang biasa mereka cap sebagai kemaksiatan yang harus diperangi, dan sebagainya.

Kedua, maraknya Ormas (baca: organisasi masyarakat sipil) yang menggerakkan citizen engagement dan kritik secara bergelombang terhadap pemerintah. Mereka merepresentasikan suara publik, menyuarakan berbagai aspirasi sekaligus tuntutan, dan menggantang isu-isu politik yang bahkan sangat sensitif, seperti menuntut pembatalan pembangunan gedung DPR, menuntut Presiden dan Wakil Presiden mundur, mengusulkan Pemilu yang dipercepat dan sebagainya.

Tiga, secara faktual beberapa Ormas, seperti LSM, didanai oleh donor asing. Ini sangat mengkhawatirkan pemerintah RI. Dalam kacamata pemerintah, no such free lunch, karenanya LSM yang dibiayai bantuan asing dapat saja “menjual” isu domestik kepada pemberi donor atau mereka bisa saja menjalankan agenda sesuai pesanan donatur. Kekhawatiran serupa juga terjadi atas ormas asing perwakilan Indonesia.

Empat, beberapa ormas menjadi “ancaman” bagi partai-partai politik, baik karena ormas tersebut potensial dimobilisasi sebagai “kekuatan politik baru” atau sebab ormas tersebut menjalankan fungsi-fungsi sosial politik yang mendelegitimasi eksistensi sekaligus peran sosial-politik parpol .

Terhadap beberapa situasi tersebut, muncul keinginan negara (baca: pemerintah dan DPR) untuk melakukan penertiban. Namun mereka tidak cukup berani untuk bertindak menggunakan instrumen hukum yang ada, sebab kebebasan sipil, berkumpul dan berserikat, serta kebebasan berekspresi (mengemukakan pendapat dan aspirasi) merupakan hak sipil dan politik warga negara yang fundamental dan menjadi salah satu parameter penting demokrasi dan pemenuhan hak asasi manusia. Untuk menghindar dari tuduhan penggunaan kekuasaan politik untuk memberangus kebebasan sipil dan politik warga negara yang digerakkan oleh ormas-ormas tersebut, negara melakukan “terobosan” dengan membuat instrumen legal (Undang-Undang) untuk mengatasi kekhawatiran mereka sendiri berkaitan dengan aktivitas ormas-ormas tersebut. RUU Ormas sesungguhnya hanyalah ekspresi tentang negara yang paranoid, bukan tentang urusan pemenuhan kebutuhan riil publik.

Beberapa Problema

RUU Ormas, secara substansial, mengandung berbagai permasalahan. Beberapa yang sangat fundamental adalah sebagai berikut: Pertama, potensial memberangus hak-hak sipil dan politik. Seperti dikemukakan di atas, kebebasan sipil, berserikat dan berkumpul, kemerdekaan berekspresi dan mengemukakan pendapat di muka umum merupakan hak dasar warga negara—dalam katagori sipil dan politik—yang dilindungi hukum positif (UUD 1945) dan norma universal (antara lain International Covenant on Civil and Political Rights yang sudah kita ratifikasi melalui UU Nomor 12 tahun 2005). Secara konseptual hak sipil dan politik merupakan hak negatif yang menuntut passivitas negara. Dengan demikian, regulasi teknokratik atas ekspresi kebebasan berserikat dan berkumpul berpotensi memberangus hak-hak sipil dan politik warga negara. Karenanya, RUU inkonstitusional dan bertentangan dengan prinsip dasar negara demokrasi.

Kedua, homogenisasi administratif atas heterogenitas Ormas. Secara faktual, ormas bersifat heterogen, mulai dari bidang aktivitas, ruang lingkup, latar pegiat, wilayah, hingga isu yang mereka usung. Dari sisi ini RUU Ormas sendiri sebenarnya mengakui heterogenitas tersebut, seperti tergambar dalam Pasal 7 ayat (2). Namun, negara “bermimpi” untuk menertibkan mereka melalui penyederhanaan administrasi yang justru akan menyulitkan negara itu sendiri.

Tiga, ahistorisitas negara. Beberapa ormas terbentuk sejak negara Republik Indonesia belum ada, baik de jure maupun de facto, seperti Muhammadiyah, NU, KWI, PGI dan sebagainya. Badan hukum dari perkumpulan-perkumpulan tersebut “didapat” dari Staatsblad No 64 tahun 1870 tentang Rechtspersoonlijkheid van Vereenegingen. Maka, “penertiban administratif” yang dimaksudkan dalam RUU Ormas bersifat ahistoris dan negara akan kebingungan sendiri dalam penerapan hukumnya.

Empat, penghamburan uang negara. Sebagaimana kita tahu perumusan peraturan perundang-undangan mulai dari proses penyusunan naskah akademik, legislasi di parlemen, uji publik, hingga sosialisasi menghabiskan anggaran miliaran rupiah. Dengan konstruksi hukum yang inkonstitusional, dapat dipastikan jika pengundangan RUU ini diteruskan maka akan langsung direspons publik dengan pengajuan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Dan mudah diraba, MK akan membatalkan UU tersebut, seperti UU lain sebelumnya, antara lain UU BHP dan UU Migas.

Beberapa catatan tersebut menunjukkan betapa rapuhnya tubuh RUU tersebut. Wajar saja jika tuntutan pembatalannya menyeruak dimana-mana. Pada puncaknya DPR menunda rencana pengesahan RUU tersebut pada tanggal 12 April yang lalu. Sayangnya, pembatalan tersebut tidak dapat mengembalikan anggaran negara yang sudah terlanjur digunakan.

Respons publik yang massif berupa penolakan atas RUU ini, termasuk forum pada siang hari ini, mengajarkan kepada kita pentingnya active demos, warga negara yang secara aktif terlibat dalam urusan-urusan publik dan keseharian mereka, dalam bangunan negara demokrasi-konstitusional. Sesederhana itulah sesungguhnya politik.

RUU Ormas juga menunjukkan betapa lemahnya kapasitas artikulasi commune bonum yang dimiliki pemerintahan RI (termasuk kapasitas legislasi yang dimiliki oleh anggota parlemen kita). Mereka, bersama tim ahli di sekitar mereka tentunya, gagal mengagregasi dan mengartikulasi urusan publik yang urgen dalam bentuk kebijakan publik (public policy). Tahun 2014 adalah yaumul hisab bagi penyelenggara negara yang ringkih dan abai seperti mereka. Ke depan, kita pilih mereka yang lebih mampu mengurus kepentingan bersama kita. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun