Mohon tunggu...
Halilintar Putra Petir
Halilintar Putra Petir Mohon Tunggu... -

[Bukan siapa-siapa. Orang kampung dari ujung timur Madura, Sumenep. Mengabdi untuk kemanusiaan di Jogja]

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tertawalah Bersama Polisi (1)--Kejarlah Daku, Kau...

12 September 2010   00:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:17 828
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siang itu, aku sedang melintasi Jl. Kusumanegara Yogyakarta dari arah Taman Makam Pahlawan menuju Kantor Pos Besar di Kilometer 0. Di pertigaan Jl. Taman Siswa lampu lalu lintas menyala merah. Saya berhenti paling depan berada di ruas sebelah kiri marka jalan. Tapi masih ada ruang untuk kendaraan yang akan ke kiri. Aku mengambil ruas tersebut karena tertera tanda panah bercabang, lurus dan kekiri, yang berarti kendaraan yang akan lurus atau berbelok ke kiri bisa mengambil ruas itu. Jadi aku tenang, meski di pojok POM Bensin terdapat Pos Polisi yang, menurut beberapa kawan, polantasnya ber-“libido tinggi”.

Ketenanganku tak bertahan lama. Seorang polantas sekejap kemudian keluar dari pos. Priitt…priiiit…priiiittt.. Si polisi menunjuk ke arahku dan memberikan isyarat untuk terus belok kiri. Aku merespon aba-aba itu. Kutunjuk tanda panah di aspal. Dengan isyarat dan berusaha berteriak menjelaskan, sekuat tenaga aku meyakinkan bahwa aku berada pada posisi yang benar. Polisi itu masih terus prat-prit prat-prit tak menggubris “penjelasan”-ku. Tak jarke wae. Apalagi kemudian ada seorang pengendara lain di samping kiriku, dan di belakangku banyak kendaraan yang memiliki “tafsir yang sama” soal marka. Tak lama si polisi memanggil temannya untuk keluar dari pos. Satu polisi lain keluar. Mereka tidak nyemprit lagi, tapi bergerak ke arah Barat, ke depan Apotik Sentul. Aku menduga dua polisi yang tak muda itu akan mencegatku dan pengendara di sebelah kiri.

Benar. Begitu lampu hijau menyala, mereka ke tengah jalan menghentikan kami berdua. Mbak yang tadi di sebelahku berhenti duluan dicegat oleh polisi yang keluar belakangan, 10 meteran dari pos. Aku pun begitu. Kupinggirkan motorku, masih dengan mesin menyala. Sebelum sang polisi mengeluarkan ajian andalannya “Selamat siang, maaf mengganggu perjalanan anda, bisa tunjukkan surat-surat,” aku terlebih dulu nyerocos dengan nada tinggi.

“Kenapa bapak menghentikan saya?! Marka di aspal ruas kiri bercabang ke kiri dan lurus, berarti yang mau lurus boleh ambil ruas itu..”, ujarku pura-pura sewot.

“Bisa tunjukkan surat-surat?” Polisi itu sok cool.

“Bapak liat dulu marka itu. Ayo saya antar!”

“Bisa tunjukkan surat-surat?” Nadanya tidak berubah.

“Saya tidak akan keluarkan surat-surat sebelum Bapak lihat sendiri marka itu!”. Aku ngotot, bukan semata-mata merasa benar, tapi lebih karena aku juga tidak punya SIM. Abis, kalo ujian tidak nyogok gak akan lulus tes. Dalam 10 tahun di Jogja, sudah tiga kali aku berusaha bikin SIM secara “lurus”. Tapi ada saja alasan untuk tak meloloskan saat tes praktek. Entah penghalang dibuat serapat mungkin sehingga mengendarainya harus zigzag dengan tingkat kemiringan tinggi. Valentino Rossi aja saya yakin sulit melewati tes itu. Atau, kaki tidak boleh menyentuh tanah. Tidak kontekstual. Mana ada di “alam nyata” orang berkendara gak boleh nginjek tanah. Aya-aya wae!

“Bisa tunjukkan surat-surat!” Emosi si Bapak mulai naik. Dia tampaknya membaca gelagat potensi ceperan 20-25 ribu mulai terancam. “Wah, polisi satu ini tampaknya gak bisa dihadapi dengan cara “beradab” dan pake akal sehat,” batinku.

“Ga bisa ngotot gitu dong Pak!!”, sengaja kutinggikan suaraku untuk mengalihkan perhatiannya dari kakiku. Kumasukkan pelan persneling ke posisi gigi satu. “Bapak liat dulu marka disitu!!”, lanjutku sambil menunjuk marka itu. Sebenarnya aku hanya mau memastikan kendaraan dari arah belakang sedang berhenti di lampu merah. Waktu yang tepat untuk kabur! Kutancap gas kencang. Sekilas seorang penyeberang kulihat tertawa sambil member jalan. 50 meteran dari TKP kubelokkan motor ke arah Pura Pakualaman. Kuparkir motor cepat. Kutaruh helm. Lalu aku bergegas ke pinggir jalan. Berdiri di bawah pohon di tepi trotoar. Sekian detik kemudian, nguingggg.. Motor besar polantas melintas sangat kencang. Aku yakin dia mengejar-“ku”. Entah sampai dimana. “Kejarlah daku, kau tak kan dapat!”. [*]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun