Mohon tunggu...
Munawar Khalil
Munawar Khalil Mohon Tunggu... Insinyur - ASN, Author, Stoa

meluaskan cakrawala berpikir, menulis, menikmati kehidupan yang singkat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menelusuri Jejak Polemik Interpretasi: Persimpangan Antara Fakar, Kafar, dan Awam

18 Mei 2022   12:28 Diperbarui: 18 Mei 2022   14:57 991
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: tafsiralquran.id

Jika menganalisis prosesnya yang panjang tersebut dari abad 6 sampai abad 19 lalu sekarang, artinya yang di kritisi itu adalah produk penulisan, hafalan, pemikiran, dan pemahaman yang telah berlangsung ribuan tahun. Dan wajar jika ada yang mengkritisi. Sebab dari awal, Al Quran turunnya perbagian, tidak komprehensif berurut menyesuaikan waktu turunnya. Ayat pertama turun yaitu surat Al-'Alaq 1-5 yang terkenal dengan sebutan iqro saja tidak otomatis menjadi ayat pertama dalam Al Quran.

Surah dan ayat yang pertama turun ini malahan berada pada jus terakhir di jus 30. Memang akan sulit kita memahami jika analisa kita belum ke sana. Begitu ada pendapat berbeda tentang sebuah pemikiran, kita buru-buru menyebutnya dengan menyerang Al Quran, agama, atau penyerang pribadi ustadz kontemporer yang membacakan ayatnya kepada kita.

Itu berlaku untuk semua ayat atau dalil dalam bahasa Indonesia yang disampaikan kepada kita oleh siapapun. Contoh, jika ada yang memiliki interpretasi berbeda terhadap suatu dalil. Itu wajar saja. Produk dari interpretasi tersebut akan kita temukan; ada yang menerapkan, ada juga yang tidak. Kita memaknainya sebagai khazanah keilmuan yang tidak lagi dalam perkara benar atau salah. Karena interpretasi dalam teori ilmu tafsir itu memerlukan penjarakan, berlepas, dan membebaskan dirinya dari maksud si pembuat teks.

Sebenarnya, ketika suatu pemikiran kita sampaikan ke ruang publik, kita harus menyiapkan resiko pemikiran kita itu di kritisi. Kajian tentang Al Quran saja bisa dikritisi metodologinya, apalagi Assunah. Parahnya, kita malah lebih sering berpolemik di tataran Hadits yang digelorakan oleh kelompok pengusung Sunnah, dibanding Al Quran sendiri. Padahal, jika pemikiran kita tertutup untuk dikiritisi orang lain, pemikiran itu harusnya jangan disampaikan ke ruang publik (media sosial). Sebab tidak semua pemikiran harus kita sampaikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun