Mohon tunggu...
Munawar Khalil
Munawar Khalil Mohon Tunggu... Insinyur - ASN, Author, Stoa

meluaskan cakrawala berpikir, menulis, menikmati kehidupan yang singkat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Polarisasi Cebong Kampret: Fundamentalisme Agama di Unggahan Rektor ITK

8 Mei 2022   19:30 Diperbarui: 11 Mei 2022   18:38 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Polarisasi antara cebong dan kampret dalam diskursus 'pakaian ala-ala gurun' yang diunggah rektor ITK Profesor Budi Santosa Purwokartiko beberapa waktu lalu, tidak lagi dalam posisi keberpihakan seperti zaman pilpres dulu yang murni karena politik. Tapi mulai berubah ke arah ideologi agama. Cebong yang dulu nasionalis dan rasionalis ketika pilpres, begitu pemikiran keagamaannya dikritisi, (catat bukan agamanya ya, tapi pemikirannya) maka yang mengkritisi akan menjadi musuhnya juga.

Kita sampai saat ini (bahkan sebagian cebong) masih tidak bisa memilah bahwa setiap opini yang keluar dari seorang akademisi seperti Prof. Budi adalah pemikiran yang tentu basisnya adalah kritik yang bersumber dari kajian mendalam tentang suatu hal. Ada alurnya, termasuk historis selama melaksanakan proses tes tersebut. Evaluasi atau intropeksi lah pemikiran kritis tersebut dengan argumen yang juga akademis. Bukan malah menjadi pemicu dan pembakar semangat kelompok fundamentalis lain, yang selama ini selalu siap meleburkan diri begitu ada momen kekisruhan seperti saat ini.

Memang tiap orang bisa berubah pemikirannya tergantung perjalanan yang  dia lalui. Apalagi dalam perjalanan tersebut ia mulai menyadari jika ideologi yang ia yakini secara fundamental telah terjadi pergeseran atau disrupsi yang sangat masif di luar sana (di luar dirinya). Tentu ia tak bisa menerima. Padahal evolusi, disrupsi, dan revolusi, sejak awal kehidupan itu adalah sesuatu yang tidak bisa kita hindari. Ada perubahan-perubahan alami yang memang dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan proses tersebut.

Jika kita mau membukakan sedikit saja pemikiran dengan lapang, (tanpa baperan) terminologi manusia atas keyakinan itu sejak awal memang berubah. Jangankan tentang agama, tentang Tuhan saja berubah-rubah. Dari percaya kepada benda-benda magis, menyembah gunung, pohon, batu, matahari. Lalu percaya kepada banyak dewa tanpa wujud. Kemudian berubah percaya kepada hanya satu dewa atau Tuhan. Artinya perubahan terjadi dan biasa saja. Itu produk evolusi. Kok bisa perbedaan pemikiran terhadap 'pakaian ala-ala gurun' saja sesama kita harus saling bertengkar?

Persoalan nyata yang ada di depan kita pasca kejadian ini dan pengeroyokan AA kemaren adalah; orang-orang yang fundamentalisme agamanya (tanpa nalar) sangat kuat, akan bersikap semakin bar-bar begitu mendapat support amunisi seperti saat ini. Dan ini mungkin yang ditunggu. Orang-orang ini menyimpan api dalam sekam yang sudah terlalu lama pasca pilgub DKI 2012, Pilpres 2014, mendapat angin pada pilgub DKI 2016, menyimpan sekam lagi di Pilpres 2019 sampai sekarang. Apalagi setelah dibubarkannya 2 ormas kesayangan. Mereka sekedar tiarap, tapi terus bergerilya.

Kita juga tahu, dibalik kedua ormas yang dibubarkan itu ada 1 partai agamis bergenre sama yang sudah lelah berpuasa selama 10 tahun karena tidak ikut berkuasa. Belum lagi yang nasionalis. Kemungkinan besar dahaga berkuasa ini akan total dititipkan kepada salah satu kandidat capres yang selama ini memang memainkan agama sebagai batu loncatannya (mahasiswa yang mempolisikan background-nya saja dari partai ini).

Momen-momen kekisruhan yang sedikit saja terpantik menyinggung agama, akan menjadi bahan bakar yang siap tersulut kapan saja. Dan kalau kita menyadarinya, sebenarnya itulah yang dikhawatirkan ke depan. Bisa saja kita akan menjadi target negara berkonflik seperti Suriah, Yaman, Irak, dan Afganistan terkini. Penyababnya karena selalu menyoal masalah yang tidak urgen. Kemudian berangsur menjadi negara gagal yang porak poranda akibat terlalu menonjolkan sektarianisme agama. Padahal, semuanya semata-mata untuk politik kekuasaan kelompok, yang di ujung sananya ada; uang. Bukan untuk agama itu sendiri.

Sebenarnya, dalam dunia akademis ungkapan pemikiran tentang syari'at bahkan tradisi keagamaaan itu tidak haram dilakukan. Itu kritik. Pakaian gurun yang dimaksud itu, beberapa ulama berbeda pendapat tentang hukumnya. Jika ulama saja beda pendapat, sebagai user dari produk mereka, harusnya kita menahan diri dan tak perlu meributkannya. Jangan mudah tersinggung. Sampai ujung dunia perbedaan itu akan terus ada. Jika kita selalu sibuk meng-amplifikasinya, waktu hidup kita yang pendek ini akan terbuang percuma.

Pakaian ala, adalah narasi yang menunjukkan pakaian yang secara umum dipakai pada suatu tempat. Masalahnya di mana bila pakaian tersebut identik dengan pakaian gurun? Masalahnya di pikiran kita yang paradigma berpikirnya dominan ke arah fundamentalis dogmatis tadi. Interpretasinya langsung sebaliknya. Memahami bahwa itu merendahkan pemakai pakaian tersebut. Kita membiarkan masa depan bangsa menjadi semakin runyam karena melulu berpolemik tentang hal-hal yang selalu berbau dogma. Dengan siapa? Dengan sesama kita.

Padahal itu sama sekali tidak mengubah nilai apapun terhadap kualitas hidup kita tadi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun