Mohon tunggu...
Munawar Khalil
Munawar Khalil Mohon Tunggu... Insinyur - ASN, Author, Stoa

meluaskan cakrawala berpikir, menulis, menikmati kehidupan yang singkat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konsep Moderasi Beragama dan Persoalan Faksi Dalam Muhammadiyah

20 Desember 2021   21:20 Diperbarui: 25 Desember 2021   09:49 722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Moderasi beragama yang diusung Muhammadiyah, atau dalam analogi Arabic disebut wasathiyah sebenarnya lebih ditujukan kepada sikap eksternal Muhammadiyah terhadap pluralisme dan perbedaan keyakinan. Ketika berhadapan dengan persoalan pilihan perbedaan di lingkungan internal, Muhammadiyah tentu sudah mempunyai ketetapan sendiri berpatokan pada putusan Majelis Tarjih. Itu artinya sikap wasathiyah tadi tidak berlaku jika persoalan ijtihad terjadi di kalangan internal karena sudah ada rujukan Tarjih.

Di dalam tubuh Muhammadiyah sendiri, seperti yang diungkap oleh Prof. Abdul Munir Mulkan saat ini terdapat empat faksi; Kyai Dahlan, Al Ikhlas, MuNU, dan Munas. Al Ikhlas sebagai faksi kedua, telah bermetamorfosa menjadi MuSa, yaitu Muhammadiyah Salafi. Inilah salah satu faksi yang menempel kuat dalam tubuh Muhammadiyah dan terus berusaha secara evolutif memasukkan ideologinya.
Nah gesekan internal tadi paling sering terjadi tentu saja dengan faksi kedua ini. 

Ambil satu contoh ketika menentukan awal bulan Syawal, kelompok kedua berpegangan pada rukyatul hilal sementara Muhammadiyah menggunakan hisab hakiki. Begitu keputusan resmi Pimpinan Pusat dengan metode hisab keluar berbeda, maka mereka akan melipir melaksanakan shalat Ied di waktu yang berbeda dari Muhammadiyah. Pasca hari raya, mereka akan merapat kembali ke dalam sistem, masjid-masjid dan amal usaha Muhammadiyah.  

Setting pendekatan dakwah, terutama militansi kelompok kedua ini dalam merasuki jama'ah bahkan kepada beberapa pengurus berhasil membuat polemik di akar rumput Muhammadiyah. Informasi teman-teman peneliti Muhammadiyah yang berasal dari daerah, problem tersebut merata terjadi di seluruh Indonesia dan sudah lama menjadi diskursus pada level struktur Pimpinan Cabang, Daerah, Wilayah, bahkan Pusat. Perbedaannya hanya pada tingkat masifitasnya saja.

Jika diskursus ini sudah lama terjadi, pertanyaan mendasarnya apa yang dilakukan Pimpinan Pusat? Sebagai kader persyarikatan saya dengan tegas mengatakan; tidak ada. Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah sebagai basis sarana penguatan dakwah dalam menghadapi gempuran faksi kedua ini hampir tidak kelihatan hasilnya. Daerah mengajukan usulan alumnusnya untuk berjihad di daerah yang kekurangan ulama Tarjih saja tidak pernah mendapat tanggapan oleh Pusat. 

Alih-alih berharap adanya beasiswa atau keringanan untuk meningkatkan sumber daya kader persyarikatan yang belajar di lembaga pendidikan Muhammadiyah sendiri, hal tersebut tidak pernah ada atau diberikan. Apalagi lazim diketahui lembaga pendidikan tinggi Muhammadiyah itu terkenal profit oriented, tidak ramah untuk kantong kader, dan warganya sendiri.

Konsep pergerakan apapun pada tiap momen yang di usung secara luar biasa seperti konsep berkemajuan, wasathiyah dan sebagainya, kalau mau jujur sebenarnya tidak merubah indeks ketertinggalan kualitas Islam secara keseluruhan, seperti yang ditulis Ahmet Kuru dalam bukunya; Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan. 

Kapal besar bernama Muhammadiyah ini sepertinya tidak lebih hanyalah sebuah korporasi bisnis yang menjalankan usahanya untuk kepentingan ekonomi belaka. Terbius, bangga, dan berfokus kepada pelaksanaan program-program formal, pembangunan universitas, rumah sakit serta AUM lain, tapi melupakan pentingnya sasaran mengejar ketertinggalan dakwah sebagai base structure pergerakan.

Banyak akar rumput yang mengkritik bahwa bahasa-bahasa penyajian dalam Himpunan Putusan Tarjih, fatwa, dan tanya jawab itu terlalu tinggi, monoton, serta berputar, sehingga sulit diterima awam bahkan tidak menarik. Dan hal tersebut tidak pernah dievaluasi oleh Pimpinan Pusat. 

Apalagi untuk menyentuh persoalan utama, yaitu kurangnya ulama Tarjih yang menyampaikannya. Justru yang diminati malah buku-buku karya anggota Majelis Tarjih di luar HPT seperti yang ditulis oleh Syakir Jamaludin dan lainnya karena mudah dicerna, mengkompilasi serta membedah perbedaan-perbedaan amalan Muhammadiyah dan Salafi secara gamblang dengan dukungan dalil yang kuat.

Di media sosial, warga dan kader malah lebih suka mendengarkan bahkan men-share tausyiyah-tausyiah dari ustadz-ustadz yang bukan Muhammadiyah, termasuk Adi Hidayat yang digembar gemborkan sebagai ustadz Muhammadiyah, padahal bukan (kita bisa menguji argumen ini). Itu artinya ustadz Muhammadiyah kurang bereksplorasi pada platform media sosial, kalah oleh ustadz-ustadz faksi kedua tadi, bahkan oleh ulama-ulama NU yang bisa mengemas tausyiyahnya lebih menarik di media sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun