Mohon tunggu...
Munawar Khalil
Munawar Khalil Mohon Tunggu... Insinyur - ASN, Author, Stoa

meluaskan cakrawala berpikir, menulis, menikmati kehidupan yang singkat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Liberalisasi Arab Saudi dan Dilematika Kiblat Islam

24 Oktober 2021   20:49 Diperbarui: 27 Oktober 2021   13:13 716
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Arab Saudi sebenarnya bukanlah negara maju. Negara ini masuk kategori sebagai negara berkembang. Kenapa disebut negara berkembang? Karena masih mengandalkan eksploitasi hulu sumber daya alam minyak mentah atau biasa disebut dengan ekstraktif. Sedangkan untuk menjadi negara maju perekonomian harus berorientasi kepada sektor hilir yaitu industri dan jasa.

Saudi mempunyai income terbesar dari minyak bumi senilai 210 M USD pertahun, dari dana urusan ibadah dan wisata haji 12 M USD. Dari perhitungan kasar, setoran jama'ah haji dan umroh Indonesia saja diperkirakan sekitar 50-an trilyun pertahun. Suatu angka yang sangat besar jika digunakan untuk memperbaiki literasi dan pendidikan kita. Saat ini, cadangan minyak di Saudi sudah mulai menipis. Artinya Saudi harus segera mencari cadangan pemasukan lain agar negara ini bisa bertahan.

Sementara, negara-negara federasi Arab tetangga mereka Uni Emirat Arab yang terdiri dari tujuh emirat yaitu; Abu Dhabi, Ajman, Dubai, Fujairah, Ras al-Khaimah, Sharjah dan Umm al-Qaiwain tampaknya sudah lebih duluan menggeliatkan perekonomian mereka dengan tidak lagi bergantung kepada minyak, melainkan ke pariwisata.

Tanda-tanda Arab Saudi mulai ikut mengalihkan orientasi mereka menuju industri alternatif seperti pariwisata, teknologi, komunikasi, dan informasi ini, terlihat dengan maraknya pembangunan resor-resor mewah serta pemugaran situs-situs bersejarah. Hal ini semenjak Muhammad bin Salman bin Abdulaziz al-Saud yang merupakan Putra Mahkota, Wakil Perdana Menteri, Menteri Pertahanan Arab Saudi, Ketua Dewan Urusan Ekonomi dan Pembangunan, merancang Saudi dengan visinya menuju 2030 dalam menghadapi perubahan sosial yang tak bisa mereka hindari.

Pangeran muda berusia 36 tahun ini adalah generasi milenial yang tampaknya akan mengubah wajah Saudi kearah perubahan yang bersifat disruptif dan fundamental demi menyelamatkan perekonomian Saudi. Namun bagi banyak kalangan pemuja Arab, terutama muslim Indonesia, ini akan menjadi satu diskursus menarik dan tentu saja kekhawatiran serta kegelisahan tersendiri. Karena untuk menjadi negara modern salah satu syaratnya adalah keterbukaan dan kebebasan. Hal ini akan melibas beberapa term-term dalam agama yang selama ini cukup kuat dan menjadi pegangan muslim se-dunia.

Dalam realitasnya Muhammad bin Salman, secara perlahan melonggarkan peraturan-peraturan ketat yang selama ini tercitra dalam wajah Islam yang serba konservatif; yaitu dengan membolehkan perempuan menyetir, membolehkan warga selain non muslim mengunjungi kawasan haram di Madinah, mengizinkan pasangan tanpa menikah satu kamar dalam hotel, mengizinkan pendirian bioskop dan penyelenggaran konser musik. Terkini, membolehkan turis di pantai menggunakan bikini serta membawa pasangan yang bukan mahramnya tanpa pembatas.  

Lalu bagaimana kira-kira wajah Islam (yang selama ini menjadi kiblat muslim dan Arab sebagai citranya) ke depan jika semua yang konservatif di sana berubah jadi longgar dan menoleransi hal-hal (serba jangan) yang tidak diperbolehkan? Saya berpikir, mungkin Saudi juga akan berubah menjadi negara 'semi' sekuler dengan alasan kuat menjaga stabilitas ekonomi politiknya. Karena kita tahu, dunia beserta isinya sejak sejarah awal memang selalu mengalami evolusi dan beradaptasi demi menjaga eksistensinya.

Kiblat shalat tidak akan berubah. Tapi kiblat dalam bentuk wajah Islam akan bergeser ke negara lain yang dianggap masih mencitrakan dan mewakili Islam. Atau bisa jadi, ia tidak akan terwakili oleh negara manapun, tetap Arab Saudi, hanya saja secara evolutif akan terus membias.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun