Mohon tunggu...
HALIFIA ZUKHRINA
HALIFIA ZUKHRINA Mohon Tunggu... -

Mahasiswi Pasca Sarjana Magister Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

“Sumber Daya Manusia Kesehatan Indonesia” ....Sumber Daya atau Sumber Masalah?

31 Oktober 2014   22:33 Diperbarui: 4 April 2017   18:26 702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Ide tulisan ini muncul dari pengalaman penulis ketika berkunjung ke sebuah salah satu Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di daerah Jawa Barat untuk menjenguk sanak saudara yang sedang sakit dan mencoba sharing informasi dengan salah satu pegawai yang bekerja di rumah sakit tersebut. Ketika saya tiba di RSUD tersebut saya melihat banyak sekali pasien yang rela antre, bahkan sampai ada yang menginap di pelataran rumah sakit. Ketika penulis mencoba menanyakan kepada salah satu pegawai RSUD, usut punya usut dari penuturan pegawai yang menangani nomor antrian pasien bahwa RSUD tersebut ternyata membatasi jumlah pasien baik yang merupakan pemegang kartu Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS), Jaminan Kesehatan Masyarakat, maupun umum.Menurut pegawai tersebut, pasien mulai berdatangan pukul 22.00 WIB, bahkan ada yang datang pukul 19.00 WIB. Pukul 05.00 WIB adalah saat ramai-ramainya pasien berdatangan. Beliau juga menuturkan bahwa rumah sakit belum bisa menerima semua pasien yang datang karena keterbatasan tenaga kesehatan yang mereka miliki, terutama dokter dan perawat. Jika ada penambahan kuota, dokter yang bersangkutan harus diberitahu dahulu, karena idealnya dalam satu hari, satu dokter menangani 30 pasien. Untuk poli dalam, RSUD menetapkan jumlah maksimal 100 pasien setiap harinya. Poli dalam memiliki dua dokter. Sementara itu, untuk poli yang hanya mempunyai satu dokter, seperti poli bedah, paru, dan saraf, kuota pasiennya adalah 30 orang. Kata pegawai tersebut, sebelum pola antrean seperti saat ini diterapkan, mereka sudah pernah mencoba menggunakan sistem antrean lewat daftar absen. Akan tetapi sistem tersebut rawan akan kecurangan.

Saya tidak berpikir hal yang saya lihat di atas sebagai penolakan RS terhadap pasien secara halus, tetapi saya coba menghubungkan dengan beban kerja tenaga kesehatan yang ideal untuk melayani pasien dalam satu hari.

Kesehatan adalah hak dan investasi serta sumber daya bagi kehidupan sehari-hari, karena itu semua warga negara berhak atas kesehatannya termasuk masyarakat miskin. Sebagai asuransi kesehatan publik, dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang merupakan program pemerintah bertujuan memberikan kepastian kesehatan yang menyeluruh bagi seluruh rakyat Indonesia agar penduduk Indonesia dapat hidup sehat, sejahtera, dan produktif. Dalam hal menjawab akan tentang kurangnya ketenagaan kesehatan, metode Yaslis Ilyas memberikan alternatif solusi yang akurat karena dapat menghitung beban kerja tenaga dengan cepat dengan tingkat akurasi yang tinggi sehingga menghasilkan informasi beban tenaga kerja (Work Load Indicator Staff Need) yaitu suatu metode penyusunan kebutuhan tenaga berdasarkan pada beban pekerjaan nyata yang dilaksanakan oleh tiap kategori tenaga. Sehingga dapat digunakan untuk menetapkan jumlah tenaga berdasarkan jenis kegiatan dan volume pelayanan pada suatu unit.

Semenjak di berlakukannya BPJS per Januari 2014 di Indonesia maka sangat berdampak bagi tenaga SDM di semua Rumah Sakit baik pemerintah maupun swasta yang bekerjasama dengan BPJS , program kebijakan pemerintah mengenai JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) yang melahirkan BPJS (Badan Penyelenggara jaminan Sosial) sangat bermanfaat buat masyarakat khususnya yang tidak mampu yang dahulu disebut KJS, Jamkesda, Jamkesmas, dan Gakin. Namun sangat disayangkan dengan adanya BPJS ini pemerintah kurang melakukan survey dan dampaknya terhadap semua Rumah Sakit yang bekerjasama dengan BPJS dalam hal kaitanya dengan jumlah tenaga SDM nya, karena bila dilihat dari masalah BPJS ini sangat mempengaruhi jumlah tenaga SDM baik medis maupun non medis, misalnya saja jumlah tenaga perawat, dokter umum, dokter spesialis, tenaga administrasi pendaftaran, penagihan yang kewalahan dengan bertambahnya peserta BPJS.

Pengaruh BPJS tentu menjadi pekerjaan berat untuk direktur Rumah Sakit dalam mengelola manajemen Rumah sakit dalam hal kaitannya dengan SDM kesehatan. Dampak BPJS ini bila dikaitkan dengan SDM misalnya saja dibagian unit  adiministrasi pasien tentu kerepotan dalam hal pengumpulan berkas pendukung diagnosa untuk disesuaikan dengan diagnose INA CBGS karena bila tidak sesuai maka tidak dibayar oleh Askes selaku pengelolah BPJS, kedua untuk dibagian unit penagihan pengumpulan bukti penunjang diagnose pun harus dilampirkan agar disesuaikan INA CBGS, dengan adanya hal demikian maka jumlah pegawai dibagian administrasi dan penagihan akhirnya ditambah pegawainya.

BPJS ini dalam mengklaim pembayarannya hanya melalui system Inacbgs dan tidak mengikuti tarif pembayaran Rumah sakit,sehingga dampak di Rumah Sakit mau tidak mau melakukan pelatihan untuk karyawan di bagian peng kodingan agar karyawan Rumah Sakit mampu melakukan koding INACBGS sehingga metode pembayaran klaim BPJS bisa terlaksana dengan tepat dan cepat sehingga Rumah sakit mendapat keuntungan dari jasa pasien BPJS. Dampak BPJS bagi tenaga kesehatan yaitu Dokter Spesialis banyak yang mengeluh karena pembayaran BPJS jauh dari harapan sehingga banyak dokter spesialis yang keluar dari Rumah Sakit dan mencari Rumah Sakit lain yang lebih menguntungkan bagi dokter tesebut. Tidak jarang timbul anggapan bahwa masyarakat yang datang berobat tidak perlu dilayani dengan baik karena mereka tidak membayar alias gratis. Bahkan kadangkala  keluar ungkapan : “Sudah gratis minta puas “ dari SDM pemberi pelayanan kesehatan. Pemikiran yang salah dari SDM  ini tentu saja berpengaruh buruk terhadap  mutu pelayanan kesehatan. Dari sisi penerima pelayanan, sering sekali keluar keluhan tentang mutu pelayanan yang buruk, seperti pasien dilayani sekedarnya saja, pelayanan setengah hati, senyum dan keramahan menjadi barang langka, tidak ada kepedulian, dan lain sebagainya. Seakan-akan Sistem Kesehatan Nasional, yang telah dirancang sedemikian rupa oleh petinggi –petinggi penentu kebijakan nasional, semuanya hanya menimbulkan masalah. Masing-masing pihak merasa berada diposisi yang dirugikan.

Pemikiran yang negatif dari SDM pemberi pelayanan kesehatan kemungkinan   bisa saja timbul  dimana untuk meningkatkan keuntungan ( meningkatkan persentase jasa pelayanan dengan menekan biaya operasional ) maka dipaksakan  melakukan penghematan biaya operasional terhadap obat dan Bahan Habis Pakai secara tidak benar dan tidak bermartabat yang dapat menurunkan mutu pelayanan dan merugikan pasien. Hal ini selayaknya jangan pernah terjadi karena proporsi yang telah ditetapkan oleh pengambil kebijakan tentunya sudah melalui pemikiran dan penghitungan  yang panjang dengan banyak pertimbangan.

Pada kenyataannya masih tampak bahwa Indonesia masih kekurangan tenaga kesehatan “berkualitas”. Bisa dibayangkan, bahkan dengan adanya SDM yang melimpah, Indonesia masih mengalami masalah dalam pemenuhan SDM kesehatan (SDMK) untuk pembangunan kesehatan. Sungguh ironis, bangsa dengan SDM melimpah, namun masih kekurangan SDM kesehatan “berkualitas”.

Apa yang salah? Dan Siapa yang salah?

Tidak dapat dipungkiri bahwa untuk dapat membuat sistem dan menjalankannya sesuai tujuan, dibutuhkan SDM yang berkualitas dengan sikap, pengetahuan, keterampilan dan karakter yang sesuai dengan tujuan sistem.

Masih pantaskah kita sebut "SUMBER DAYA" ??

atau...

Justru manusia ini menjadi "SUMBER MASALAH" ??

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun