Mohon tunggu...
Halid Atmaja
Halid Atmaja Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Saya adalah seorang mahasiswa UIN Jakarta yang gemar menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengulas Harta Gonogini dan Pembagiannya

11 Mei 2024   10:01 Diperbarui: 11 Mei 2024   10:15 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam perceraian sering kali timbul suatu friksi atau implikasi yang cukup rumit untuk diselesaikan, yakni pembagian harta Gonogini di saat ikatan pernikahan antara laki-laki dan perempuan. Diantara kalangan ahli hukum, harta gonogini memiliki kesamaan antara satu dengan yang lainnya. Menurut sayuti Thalib, harta gonogini adalah harta perolehan selama ikatan perkawinan yang didapat atas usaha masing-masing secara sendiri-sendiri atau didapat secara usaha bersama antara suami dan istri.

Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Harta Gonogini dibagi ke dalam tiga bagian, yang pertama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan. Kedua, Harta bawaan, yaitu adalah harta yang dbawa oleh masing-masing pihak sebelum terjadinya proses perkawinan dilaksanakan. Bagian harta yang kedua ini dikuasai masing-masing pihak sepanjang pihak laki-laki dan perempuan tidak menentukan lain. Yang terakhir adalah harta perolehan, harta perolehan adalah harta yang diperoleh dari hadiah atau warisan. Harta ini dikuasai oleh pihak laki-laki dan perempuan selagi keduanya tidak menentukan lain.

Harta gonogini akan semakin rumit jika pernikahan yang dilangsungkan tidak memiliki ikatan hukum kenegaraan atau pernikahan tersebut dilakukan secara nikah siri. Selaras dengan yang telah dijelaskan bahwa pernikahan siri walaupun sah menurut agama, tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum di Indonesia. Akibat dari pernikahan siri adalah segala persoalan yang timbul akan menjadi rumit dan pelik. Dan akibat yang berikutnya dalah selalu merugikan pihak perempuan.

Istilah Harta Gonogini

Di dalam fiqih munakahat Harta Gonogini merupakan harta yang didapat suami dan istri karena usahanya, baik itu didapat oleh keduanya atau hanya didapat oleh suaminya saja. Selagi suami dan istri tersebut masih di dalam satu ikatan perjanjian pernikahan, maka semuanya akan menjadi satu begitupun dengan hartanya. Banyak dari kalangan ahli hukum yang memberikan definisi tentang harta gonogini, walaupun banyak dari redaksi ahli hukum terkait definisi ahli hukum yang berbeda, namun inti dari isinya tetap sama. Pengertian gonogini dalam pembahasan ini merujuk kepada ketentuan-ketentuan perundang-undangan, sebab meskipun para ahli hukum memiliki orientasi dan pandangan masing-masing dalam memberikan definisi tersebut, dengan adanya rumusan dari yang diberikan undang-undang, maka terlalu penting membicarakan perbedaan-perbedaan definisi yang diberikan para ahli hukum.

Di dalam hukum positif yang berlaku di Indoensia, pengertian tentang harta gonogini diatur dalam pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang berbunyi: "harta benda yang diperoleh dalam perkawinan menjadi harta benda bersama." Bunyi pasal tersebut seakan memberikan rumusan tentang pengertian harta gonogini yang bersifat umum, yaitu setiap harta benda yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan, maka menjadi harta bersama atau harta gonogini, baik itu harta diperoleh oleh suami ataupun istri.

Dengan begitu, Undang-undang menghendaki bahwa setiap harta yang dihasilkan selama masih dalam ikatan perkawinan tanpa melihat siapa yang ikut berkontribusi apakah sang suami yang pergi mencari nafkah dan istri mengurus anak di rumah atau keduanya aktif mencari nafkah. Kemudian semua penghasilan yang didapatkan dari hasil usahanya baik dari suami saja atau keduanya mejadi harta bersama atau harta gonogini.

Kedudukan Suami dan Istri Pada Harta Bersama Atau Harta Gonogini Dalam Sebuah Perkawinan

Mengenai kedudukan suami istri di dalam rumah tangga dan masyarakat ini diatur di dalam pasal 31 ayat 1 yang pada dasarnya adalah sebagai berikut: "Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat".

Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa ketentuan kedudukannya sebagai manusia maupun kedudukannya di dalam fungsi sebuah keluarga. Pada dasarnya kedudukan pria dan wanita sebagai manusia adalah sama derajatnya sebagai makhluk ciptaan tuhan. Tujuan yang ingin dicapai dari ketentuan pasal 31 ayat 1 ini adalah supaya di dalam rumah tangga tidak ada dominasi antara suami dan istri, baik di dalam pembinaan rumah tangga maupun di dalam pembinaan dan pembentukan keturunan sebagai pewaris generasi yang akan datang nantinya. Yang penting untuk diperhatikan bagi seorang isteri walaupun diberikan persamaan dalan bertindak khususnya di masyarakat jangan sampai melalaikan kewajiban yang pokok sebagai ibu rumah tangga. Karena dengan wanita melalaikan kewajibannya sebagai ibu, maka rumah tangga dapat menjadi berantakan dan bahkan hancur sama sekali.

Pada pasal 31 ayat 2 disebutkan bahwa "Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga". Mendudukkan suami sebagai kepala keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga secara hukum adalah cukup alasan, karena bagaimanapun keinginan seorang isteri untuk benar-benar menyamai keududukkan suami ditinjau dari segi fungsinya dalam rumah tangga maupun dari segi fungsi biologisnya masing-masing tentunya terdapat perbedaan.  Suami mempunyai kedudukan sebgai kepala keluarga adalah sudah cukup alasan, karena dilihat dari segi kewajibannya suami sebagai seorang pria lebih rasional dibandingkan isteri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun