Mohon tunggu...
siti rhovi
siti rhovi Mohon Tunggu... -

measih terus belajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Viktimisasi Perempuan

11 Mei 2013   19:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:44 1078
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dewasa ini viktimisasi terhadap perempuan masih menjadi pembahasan serius dan menarik. Viktimisasi dalam pengertiannya adalah proses dimana seseorang menjadi korban tindak kejahatan. Sementara itu perempuan seperti yang kita ketahui selama ini adalah makhluk yang diciptakan Tuhan dengan segala kelebihan dan kekurangannya sebagai lawan jenis dari laki-laki. Dalam tulisan ini digunakan kata “perempuan” dan bukan “wanita” karena menurut ahli bahasa kata perempuan memiliki arti “yang di-empu-kan”, dimana empu itu berarti induk atau asli sehingga tersirat arti penghormatan. Viktimisasi perempuan adalah fenomena dimana perempuan dijadikan sebagai korban tindak kejahatan yang terjadi akibat ketimpangan konstruksi sosial (gender) yang masih berlangsung sampai saat ini. Ketimpangan ini menimbulkan hubungan yang tidak adil, dimana laki-laki mendominasi atas perempuan, bahkan seringkali menindas.

Viktimisasi perempuan merupakan hal yang ironis ditengah perjuangan panjang kaum perempuan untuk mencapai kesetaraan gender, karena pada kenyataannya  ketidakadilan masih terus berlangsung. Mereka masih dijadikan korban diskriminasi, pelecehan, kekerasan, eksploitasi, baik dari segi fisik maupun psikis. Pada dasarnya laki-laki dan perempuan memang diciptakan berbeda, tetapi keduanya memiliki hak yang sama sebagai manusia, makhluk ciptaan Tuhan. Dalam pasal 1 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) dinyatakan bahwa ‘semua manusia dilahirkan bebas dan sama dalam martabat dan hak-hak asasi’. Itu artinya hak asasi tidak memandang jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan semuanya mempunyai hak yang sama. Hal itulah yang selama ini menjadi fokus dan cita-cita perjuangan kaum perempuan. Harapannya kaum perempuan dapat aktif mengembangkan berbagai potensi yang dimilikinya tanpa terbelenggu bayang-bayang diakriminasi.

Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Dinamikanya

Pada dasarnya kasus kekerasan dapat terjadi pada laki-laki ataupun perempuan. Tetapi tingkat kekerasan terhadap perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki karena perempuan mengalami diskriminasi dan kekerasan. ‘Gender bias is the cause of high acquittals in crime against women’. Bias gender merupakan penyebab dari tingginya pembebasan kekerasan terhadap perempuan. Bias gender membuat fenomena perempuan sebagai korban menjadi sesuatu yang wajar karena laki-laki dalam kedudukannya merasa superior sehingga mereka berkuasa atas perempuan.

Sebelum reformasi terjadi, kekerasan terhadap perempuan bukan merupakan isu publik. Namun sebaliknya kekerasan terhadap perempuan justru ditutup rapih dengan alasan keyakinan agama, nilai budaya, dan tradisi. Semua itu kemudian terwujud dalam persepsi, sikap, dan perilaku cukup banyak orang untuk memilih tidak mengakui adanya kekerasan. Pilihan ini dilakukan oleh keluarga, pelaku, bahkan oleh korbannya sendiri. Jadi meskipun sejak dulu sudah menjadi bagian dari penderitaan perempuan, fenomena kekerasan terhadap perempuan tidak dianggap sebagai sesuatu yang perlu untuk disuarakan, dibahas dengan orang lain, atau dikeluhkan. Kekerasan terhadap perempuan dianggap sesuatu yang lazim bahkan sering kali dianggap sebagai sesuatu yang terlalu mengada-ada dan berlebihan. Setiap upaya untuk mempertanyakan apalagi mempermasalahkan dan menggugat akan memunculkan kontroversi.

Tak dapat kita pungkiri bahwa sampai saat ini perempuan masih mengalami viktimisasi, baik berupa pelecehan ataupun kekerasan. Pelakunyapun berbagai macam mulai dari orang yang tak dikenal, suami, saudara, guru, aparatur negara, bahkan orang tua. Anak perempuan yang dipaksa untuk menikah pada usia muda padahal secara fisik dan mental si anak belum siap adalah contoh dari viktimisasi yang dilakukan oleh orang tua. Program “Keluarga Berencana” yang merupakan program pemerintah untuk mengatasi masalah kependudukan pada prakteknya hanya mementingkan suksesnya program daripada mendengarkan suara perempuan. Perempuan hanya dijadikan obyek untuk mencapai tujuan akhir tanpa memperdulikan kebutuhan khususnya sebagai perempuan.

Di dunia ini ada banyak negara yang berdasarkan hukum melarang diskriminasi, pelecehan, dan kekerasan berdasarkan gender yang mengakibatkan perempuan menjadi viktim. Namun, ada sebagian negara yang menolerir dan membiarkan hal itu terjadi. Viktimisasi masih terus berlangsung terhadap perempuan-perempuan dengan berbagai latar belakang budaya, hukum, agama, dan status sosial ekonomi.

Selama ini dalam viktimisasi perempuan ada kecenderungan untuk menyalahkan korban. ‘The victim becomes the offender and the offender becomes victim’. Para laki-laki menyalahkan perempuan dengan berbagai alasan seperti perempuan merias diri sehingga memancing perhatian laki-laki yang melihatnya, cara berpakaiannya yang merangsang ataupun perempuan yang merayu dahulu membuat para laki-laki tidak bisa mengendalikan hawa nafsunya sehingga mereka melakukan tindak kejahatan terutama kekerasan seksual.

Mengapa Perempuan Selalu Menjadi Obyek Kekerasan?

Perempuan mempunyai risiko menjadi viktim salah satu akarnya adalah dari ketimpangan hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Anggapan bahwa laki-laki lebih kuat dibandingkan dengan perempuan, baik dalam hal fisik maupun non fisik, kepemilikan harta, pendidikan, jabatan, dan keturunan menyebabkan laki-laki melakukan kekerasan terhadap perempuan. Akibatnya mereka (kaum laki-laki) sering kali sesuka hatinya menjadikan perempuan sebagai korban tindak kejahatan seperti kekerasan fisik, kekerasan psikis, pelecehan seksual ataupun perdagangan manusia.

Pandangan yang berasal dari kisah penciptaan perempuan yang pertama (Hawa) bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki (Adam) menanamkan suatu sikap superioritas laki-laki terhadap perempuan. Banyak yang menerima kisah ini tetapi memaknainya dengan salah, yaitu dengan mengesankan bahwa perempuan merupakan bagian dari laki-laki sehingga laki-laki berkuasa atas perempuan. Oleh karena itu seandainya terjadi dominasi laki-laki atas perempuan di dalam masyarakat dianggap sesuatu yang wajar dan tidak perku dipermasalahkan.

Dari sisi budaya, masih melekatnya budaya patriarkhi dalam kalangan masyarakat turut menyumbang sebagai faktor yang menyebabkan perempuan menjadi viktim. Laki-laki yang mempunyai sikap maskulinnya sampai saat ini masih dijadikan alasan untuk menempatkannya sebagai ciptaan Tuhan yang mempunyai hak yang lebih dari perempuan. Sebaliknya, perempuan dengan sifat feminimnya dinilai sebagai sesuatu yang inferior.

Diskriminasi kekerasan terhadap perempuan terkait politisasi identitas. Tidak adanya tindakan tegas aparat dalam kasus-kasus kekerasan atas nama agama dan moralitas mayoritas turut menjadi faktor yang melanggengkan viktimisasi perempuan terjadi. Menurut temuan dari Komnas Perempuan, ada 206 kebijakan diskriminatif antara 1999 dan 2011 (7 diantanya kebijakan di tingkat nasional). Temuan ini sangat memprihatinkan karena pada tahun 2009 Komnas Perempuan telah menyampaikan adanya 154 kebijakan diskriminatif atas nama agama dan moralitas, namun dalam perkembangannya tidak ada satupun kebijakan tersebut yang dicabut atau diubah untuk tercapainya pemenuhan prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Anggapan bahwa perempuan mudah dibohongi dengan berbagai janji dan perempuan menyukai jenis pekerjaan tertentu dari menjadi babbysitter dengan pendapatan rendah sampai menjadi penari ataupun menjadi penyanyi di dunia entertainment yang menjanjikan kehidupan bergelimang materi turut menjadi faktor yang menyebabkan perempuan mudah mengalami viktimisasi, lebih khususnya menjadi korban perdagangan perempuan. Viktimisasi perempuan dalam bentuk perdagangan dipermudah dengan kurang sadarnya perempuan  terhadap perangkap yang dipasang oleh para pedagang manusia yang melakukan kejahatannya dengan enak tanpa kontrol ketat dari penegak hukum atau pejabat setempat. Tak sedikit dari perempuan-perempuan ini yang tidak mempertimbangkan resiko apabila mereka menerima tawaran itu. Hal diatas makin bertambah rumit ketika masalah-masalah seperti terbatasnya lapangan kerja yang tersedia, terbatasnya keterampilan yang mereka miliki, kurangnya informasi tentang isu perdagangan manusia, dan sikap toleransi di komunitas tertentu terhadap kekerasan perempuan turut menyumbang sebagai faktor yang menstimulus. Yang paling parah adalah kondisi sosial psikologis dan politik di negeri ini belum memberikan suaka yang diperlukan perempuan untuk tidak diperdagangkan..

Bagaimana Menghapuskannya?

Viktimisasi perempuan yang muncul akibat ketimpangan gender merupakan pelanggaran hak asasi manusia sehingga perlu dihapuskan. Namun untuk memperjuangkannya merupakan hal yang berat. Pertanyaannya adalah siapa yang harus bertanggung jawab dan bagaimana agar viktimisasi perempuan dapat dihapuskan?

Perjuangan untuk merubah sistem ketidakadilan gender merupakan perjuangan ideologis. Ideologi ketidak adilan gender yang diyakini masyarakat saat ini harus diubah. Untuk mengubahnya dapat dilakukan berbagai langkah pendukung antara lain dengan melakukan studi tentang ketidakadilan gender, dan memanifestasikannya di masyarakat, negara, maupun di rumah tangga. Dengan aksi nyata yang dilakukan oleh kaum perempuan sendiri ketidakadilan gender dapat dihapuskan.

Tentunya agar viktimisasi perempuan dapat dihapuskan yang paling penting adalah kesadaran tentang kesetaraan gender yang baik dalam kehidupan bermasyarakat baik oleh korban, pelaku, pemerintah, penegak hukum, LSM ataupun masyarakat pada umumnya. Individu-individu sebagai pribadi harus mempertanggungjawabkan peranannya sebagai laki-laki dan perempuan.

Kaum perempuan sebagai tokoh utama harus memberikan pesan penolakan secara jelas kepada mereka yang melakukan pelecehan agar si pelaku menghentikan perbuatannya. Membiarkan atau menganggap biasa akan mendorong pelaku untuk melakukannya karena kadang mereka menganggap bahwa diam berarti menyukai.

Dari pemerintah, diperlukan komitmen konkret mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Komitmen ini dapat berupa pereformasian terhadap hukum yang masih bias gender, pembentukan kebijakan yang melindungi perempuan dari tindak kekerasan, melakukan sosialisasi yang ditujukan secara menyeluruh tentang konvensi anti diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan yang sudah diratifikasi pemerintah agar ratifikasi tidak hanya sebagai coretan di atas kertas saja.

Dari penegak hukum, pembentukan mekanisme penanganan yang memenuhi hak-hak korban atas kebenaran serta memberi sanksi hukum yang setimpal terhadap pelaku tindak kekerasan sesuai dengan perbuatannya akan sangat membantu karena masyarakat akan percaya pada lembaga penegak hukum dan perempuan-perempuan  korban tidak ragu untuk mengadukan kasus kekerasan yang menimpanya karena percaya kasusnya akan ditangani dengan baik.

Peran LSM yang bergerak di bidang perempuan juga sangat dibutuhkan untuk mensosialisasikan tentang pentingnya memperjuangkan kesetaraan gender agar kaum perempuan tidak selalu dijadikan korban suatu tindak kejahatan. Aliansi-aliansi perlindungan dan pendampingan hukum terhadap perempuan korban kekerasan oleh LSM juga diperlukan.

Viktimologihttp://id.wikipedia.org/wiki/Viktimologi, 03 November 2011.

Suparinah Sadli (2010),  Berbeda Tapi Setara, Imelda Bachtiar (ed), Jakarta: Kompas Media Nusantara, p.3.

Deepak Bishoyi (2007), “Violence Against the Women and Gender Justice”, Dimensions of Gender Problems, Policies and Prospects, New Delhi: Discovery Publishing House, p.74.

Suparinah Sadli (2010), op.cit., p.299.

Carrole Sheffield (1992), “Sexual Terrorism”, Feminist Philosophies, Janet A. Kourany (ed),  New Jersey: Drentice Hall, Inc., p. 69.

Sri Suhandjati S. dan R. Sofwan (2001), Perempuan dan Seksualitas Dalam Tradisi Jawa, Yogyakarta: Gama Media, p.90.

Empat Isu Krusial Pemenuhan Hak Asasi Perempuan dan Penghapusan Diskriminasi dan Kekerasan Terhadap Perempuan Indonesia, http://www.komnasperempuan.or.id/2011/09/empat-isu-krusial-pemenuhan-hak-asasi-perempuan-dan-penghapusan-diskriminasi-dan-kekerasan-terhadap-perempuan-indonesia/ , 05 November 2011.

Suparinah Sardi (2010), op.cit., p.289.

Bainar (1998), Wacana Perempuan dalam Keindonesiaan dan Kemodernan, Jakarta: Pustaka Grasindo, p. 33.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun