Kalau dipikir-pikir kenapa Bali bisa menjadi tujuan wisata terfavorit di Indonesia. Padahal di Indonesia masih banyak Bali-bali yang lain. Sebut saja pulau tetangganya, Lombok, Belitung atau lebih dikenal dengan sebutan Negeri Laskar Pelangi belakangan ini. Ini mungkin lebih kepada fasilitas yang disediakan Pulau Dewata. Semua yang dibutuhkan wistawan disediakan, baik untuk wisatawan mancanegara ataupun wisatawan domestic, baik bagi wisatawan ala backpack ataupun ala koper. Namun terlepas dari itu semua, Bali memang lebih dulu dikenal daripada destinasi-destinasi yang lainnya. Bahkan menurut beberapa wisatawan Australia asal Melbourne, terbang ke Bali lebih murah daripada terbang ke Perth, yang notabene masih senegara. Makanya tak heran bila prosentasi wisatawan Australia adalah yang terbesar yang mengunjungi Bali tiap tahunnya.
Fakta ini menjadi menarik ketika saya berkunjung ke Bali. Kata orang, belum ke Bali kalau kita belum ke Pantai Kuta. Jadilah saya pergi ke Pantai Kuta. Ini hari pertama saya di Bali. Setelah menaruh semua barang-barang saya di penginapan, tentunnya tidak semua. Saya bergegas menuju pantai. Cukup berjalan kaki saja, karena memang jarak penginapan saya tidak jauhndari pantai kuta.
Menurut saya, tidak ada pantai di dunia di manapun yang siang hari tidak panas. Begitu pula dengan kuta. Namun panasnya yang menyengat tak menyurutkan niat pelancong menikmati indahnya kuta meski di bawah terik sinar mentari. Tak terkecuali saya. Para surferpun tak terganggu dengan panasnya si surya. Mereka dengan asiknya meluncur dengan papan selancar mereka. Berhubung saya orang desa, jadi tak bisa berselancar, saya cukup surfing di pinggiran pantai saja, alias looking-looking saja.
Semakin siang, panas semakin terasa, tapi panasnya matahari siang itu mungkin masih belum sepanas apa yang saya lihat dan apa yang ada di benak saya. Maklum, naluri lelaki bisa saja muncul kapan saja, jadi harap maklum. Karena disetiap langkah dan setiap kedipan saya melihat mba-mba bule ber-swimsuit ria, sunbathing dan mereka layaknya mayoritas di sini. Justru saya merasa menjadi kaum minoritas di Negeri sendiri.
Puas walking-walking, looking-looking, bersiap menunggu sunset. Panas terik matahari memang berkurang, namun semakin sore, pantai kuta semakin rame. Apalagi kalau bukan seperti apa yang ada dipikiran saya, yaitu sunset. Puas celingak-celinguk kanan-kiri, akhirnya saya nemu tempat yang cocok buat nikmatin sunset sore itu. Lepas sandal, duduk di atas sandal, coret-coret di pasir, hapus, tulis lagi, hapus lagi. Bosan coret-coret, diam, lihat kiri lihat kanan, “tapi kok bule semua ya? Alah, mereka bule, tapi saya kan turis juga” batin saya.
Kondisi seperti ini akan sangat menggembirakan bagi para pedagang souvenir lokal, penyedia jasa rental tikar, jasa pijat. Semakin ramai yang dating, semakin banyak pulalah rezeki mereka. Mereka bertebaran di sepanjang Pantai Kuta.”souvenir mister! Massage miss!" Bahkan anak-anak para pedagangpun ikut menjajakan dagangannya, dan tak sedikit dari mereka yang lumayan atraktif dalam menawarkan barang-barangnya.
Hilir-mudik, mondar-mandir, dari tadi yang ditawarkan kok sepertinya cuma para bule ya? Saya mulai merasa aneh. Kok saya yang dari tadi duduk di sini tidak ditawari satupun ya? Ada apa dengan saya? Saya kan turis juga. Di sebelah kanan saya ada sepasang turis asal Amerika, saya tahu karena dari tadi saya mendengar obrolan mereka denga para pedagang. Di sebelah kiri saya ada sekitar tiga orang turis asal Belanda. Setelah menawarkan souvenir-souvenirnya kepada turis di sebelah kanan saya, kemudian mereka melewati saya untuk menawarkan kembali souvenir-souvenirnya kepada turis-turis di sebelah kiri saya. Yang membuat saya heran dan sedikit jengkel (padahal jengkel banget), ini tidak terjadi sekali dua kali, tapi sering. Saya bertanya-tanya dong pada diri saya sendiri, “kok gwe kagak ditawar-tawarin ya, gwe kan juga pengen liat. Emank tampang gwe ga kayak turis ya, padahal kan gwe udah bergaya ala turis banget. Apa gwe terlihat sebegitu gembelnya (meski memang kelihatan gembel), gwe ga terima!”
Tapi berhubung sunsetnya masih lama, dimulailah aksi detektif. Mulai dari pindah-pindah tempat, yang tadinya duduk di sebelah bule yang satu, pindah ke samping bule yang lainnya, nguping sambil pura-pura buka Hp, akhirnya barulah saya mendapat jawabannya. Alasannya bukanlah karena penampilan saya yang tidak seperti turis atau karena saya kelihatan seperti gembel, tapi karena saya turis lokal. Seandainya saja saya turis manca, mereka bisa menawarkan harga souvenirnya dua puluh atau tiga puluh ribu untuk satu gelang, dan bahkan mereka menerima dollar. Dengan begitu, mereka bisa mendapatkan untung yang lebih banyak. Berhubung saya turis lokal, kan ga mungkin mereka menawarkannya segitu. Jadi daripada buang-buang tenaga menawarkannya kepada saya, yang belum tentu juga beli (terkadang masih nawar), lebih baik nawarin para bule, lagian bule-nya banyak ini. “O, ternyata itu alasannya. Okelah kalau begitu!” batin saya. (Published on : Halamanberikutnya Download the E-Book Version Here)
NB: This isn’t the matter of your destinations, it’s the journey
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H