Kekuasaan menurut Daniel Dhakidae, memang begitu nyata dan juga sekaligus begitu misterius. Kekuasaan nyata, ketika berada dalam genggaman yang kemudian membuat penguasa berbuat leluasa, apakah berkaitan dengan dimensi kebijakan maupun tanggungjawab sosial. Sementara kekuasaan misterius, ketika kekuasaan itu beralih, lepas dari genggaman---lalu diperolehnya kembali lewat legitimasi anak, istri dan sanak famili.
Hal itu, memang sungguh misterius, bukan! Meskpiun kekuasaan yang demikian, gampang untuk diselewengkan oleh penguasanya sendiri.
Maka dari itu, kita patut mengamini sebuah "dalil kekuasaan" (Alfan Alfian, 2016), yang diutarakan oleh Lord Acton bahwa kekuasaan cenderung diselewengkan oleh pemegangnya dan kekuasaan mutlak sudah pasti menyeleweng. Minimal, inilah yang berlaku disetiap daerah, saat penguasa mencoba membiakan dinasti politik.
Politik dinasti merupakan produk politik yang bermasalah. Secarah hukum memang tidak dilarang. Namun jika dilihat dari dimensi kebijakan, dinasti politik kerap banyak menimbulkan masalah yang justru merugikan publik. Tengoklah daerah-daerah yang hari ini menerapkan dinasti politik---yang terjadi malah menjadi pasien Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), berakhir di jeruji besi.
Lalu, apakah seandainya Sulawesi Tenggara bila diterapkan dinasti politik, juga akan menghadapi banyak masalah? Disini kita bukan mengawang-ngawang atau berasumsi. Tetapi berbicara fakta bahwa biasanya sebuah dinasti berusaha membek-ap kepentingan keluarga dengan mencalonkannya untuk meraih jabatan kembali. Hal tersebut bisa dilakukan melalui istrinya, anaknya dan mungkin juga keluarganya yang lain.
Jadi, tidak menutup kemungkinan penyalahgunaan wewenang itu akan terjadi. Karena biasanya, ketika sang ayah selesai menjabat, kepentingan atau urusan bisnis masih banyak yang belum terselesaikan. Atau bisa jadi ada perkara hukum yang ditinggalkan. Sehingga untuk mengamankan posisi itu, salah satunya anak, istri atau bagian dari keluarga harus berkuasa.
Sulawesi Tenggara dalam hal ini tengah berada dalam bayang-bayang dinasti politik. Itu dapat terlihat, ketika para politisi muncul dipermukaan dengan wajah yang itu-itu saja. Sebagian yang wara-wiri di media sosial merupakan politisi atau wajah lama, yang saat ini, anak, istri, suami dan sebagian keluarganya tengah menduduki jabatan-jabatan penting.
Sebut saja, yang pertama misalnya Ir. Asrun, yang masih menjabat sebagai wali kota Kendari. Dalam pemilihan wali kota beberapa bulan yang lalu, anaknya Adriatma Dwi Putra (ADP) berhasil keluar menjadi jawara, untuk memimpin wali kota Kendari lima tahun kedepan. Kemenangan itu tidak terlepas dari campur tangan ayahnya, dengan menggunakan mesin birokrasi yang ada. Bukti yang paling kuat, menjelang pilkada 2017 beberapa bulan yang lalu, ia melakukan berbagai manufer dengan mengganti beberapa pejabat eselon I, III dan IV, dari tingkat kepala dinas sampai dengan kepala kelurahan.
Dengan masa jabatan yang tinggal menyisakan beberapa bulan lagi, Ir. Asrun tengah melakukan sosialisasi untuk mencalonkan diri sebagai Gubernur. Ia adalah orang yang berhasil memperkuat posisinya membangun dinasti sejak tahun 2014. Dinasti politiknya yang dibangun di Kendari hari ini tengah berjalan mulus. Dengan terpilihnya Adriatma sebagai wali kota, tak menutup kemungkinan kedepan ia akan disiapkan oleh ayahnya untuk mencalonkan diri sebagai Gubernur. Saat ini Ir. Asrun tinggal bagaimana menata basis dan finansial untuk menuju kursi Gubernur.
Yang ke dua, Tina Nur Alam, yang saat ini menjabat sebagai anggota DPR RI Komisi VI. Tina atau yang mempunyai nama lengkap Asnawati Hasan, merupakan istri Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam, yang saat ini masih dijadikan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan modal prestasi dan populer suaminya Nur Alam, ia dengan optimis akan mendapat dukungan dari masyarakat.
Barangkali, disini publik akan diuji. Apakah masyarakat tetap akan mendukungnya? Pasalnya, Nur Alam, saat ini tengah dirundung masalah, diduga menyalahgunakan wewenang, dengan mengeluarkan izin pertambangan pada rentang waktu tahun 2009-2014. Sosok Tina Nur Alam, masuk dalam gelanggang politik merupakan produk dinasti politik, yang dibangun oleh Nur Alam sejak tahun 2008 silam. Sejak Nur Alam menjadi Gubernur pada tahun 2008-2013, istrinya, Tina berhasil menyabet kursi DPR RI pada tahun 2014 lalu.