Konstitusi adalah hukum dasar atau hukum tertinggi negara. Konstitusi dapat berbentuk tertulis disebut konstitusi (UUD) dan dapat berbentuk tidak tertulis disebut kongres. Semua ketentuan yang tunduk pada Konstitusi harus tunduk pada Konstitusi. Dalam konteks Indonesia, UUD 1945 berada di garis depan sistem hukum Indonesia.Â
Hal itu tertuang dalam Pasal 1 Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Undang-Undang. Untuk memahami hukum dasar negara, tidak cukup hanya melihat ketentuan Undang-Undang Dasar atau Undang-Undang Dasar, tetapi juga memahami aturan dasar yang muncul dalam praktik ketatanegaraan dan tetap ada, meskipun tidak ada. . tertulis atau akan sering dicontohkan oleh "kontrak" konstitusional bangsa. Karena dengan pengertian demikian, "ketertiban" dapat diwujudkan sebagai tugas utama hukum.
Ketika reformasi konstitusi tahun 1999 (UUD 1945) berlangsung, beberapa kesepakatan mendasar dibuat untuk mengubah UUD 1945, termasuk penguatan sistem presidensial.Â
Namun kenyataannya, MPR tidak konsisten mengikuti kesepakatan tersebut. Ditandai dengan dekonstruksi presidensialisme pada Perubahan Pertama UUD 1945 (1999), kemudian pelembagaan DPR pada Perubahan Kedua (2000) bukannya membangun perimbangan kekuasaan antara presiden dan DPR. menciptakan sistem presidensial yang tidak jelas untuk ditetapkan dengan amandemen konstitusi tahun 1945. Kesannya yang "parlementer" justru semakin menguat.
Berdasarkan dinamika yang terjadi di Indonesia saat ini, banyak pihak memandang perlunya reformasi UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Karena banyak bidang administrasi negara melihatnya sebagai penguatan. Sebaliknya, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) berinisiatif mengubah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi Dewan Perwakilan Rakyat (MPR). DPD berpendapat bahwa konstitusi perlu diamandemen lagi karena sejumlah alasan. Alasan tersebut antara lain Penguatan sistem presidensial, penguatan lembaga perwakilan, penguatan otonomi daerah, calon presiden perseorangan, seleksi pemilu nasional dan lokal, Forum Previlegatum, optimalisasi peran Mahkamah Konstitusi, penambahan pasal HAM, pemekaran Negara Bab komisi dan penajaman bab Pendidikan dan Ekonomi.
Hal Ini merupakan bagian penting dari dinamika hukum Indonesia, termasuk hak asasi manusia dan hukum tata negara. Dalam konsep negara hukum, hak asasi manusia dan konstitusi ibarat dua sisi mata uang yang sama, berbeda tetapi bersatu. Dalam pengertian yang paling umum, bahwa ada hubungan tertentu yang terjalin dalam sifat benda, dalam pengertian ini dapat disimpulkan bahwa setiap makhluk memiliki hukumnya sendiri. Di negara berkembang, pembangunan didahului dengan munculnya negara hukum. Artinya, dalam pengertian yang sama kekuasaan masyarakat hanya terbatas pada pelaksanaan kekuasaan menurut petunjuk dari penguasa yang lebih tinggi, dan hukum mengikat semua anggota masyarakat.
Hukum adalah sarana utama untuk melindungi dan membela hak asasi manusia di negara ini. Untuk menjamin perlindungan dan dukungan hak asasi manusia di negara, perlu dipastikan bahwa hukum menjadi instrumen otoritas publik atau negara, sehingga ada batasan dan check and balances dalam pelaksanaan tugas, sehingga ini dilakukan. tidak terjadi Ketika berbicara tentang hak asasi manusia dalam praktik konstitusional, negara yang berbeda memiliki nomenklatur yang berbeda, misalnya Amerika Serikat mengartikulasikan hak asasi manusia dalam Amandemen I-X yang dikenal dengan Bill of Rights. Sebagian besar konstitusi yang muncul dari perubahan rezim mengatur hak asasi manusia dalam bab-bab tertentu, seperti yang terjadi di Filipina dan Afrika Selatan. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia dengan Amandemen II UUD 1945. Ada juga konstitusi yang tidak mengatur hak asasi manusia dalam satu bab tertentu tetapi terbagi dalam beberapa pasal, seperti Australia.
Secara historis, sejak masa persiapan hingga pembentukan dan pelaksanaan pemerintahan Indonesia dapat ditegaskan bahwa Indonesia menganut sistem ketatanegaraan, sehingga masalah HAM merupakan materi yang sangat penting. Menurut A.A.H. Â Struycken, keberadaan konstitusi mencakup pandangan, keinginan dan perkembangan dalam kehidupan bangsa yang menginginkan terbentuknya negara hukum yang menjamin perlindungan hak asasi manusia.
Perdebatan konsep HAM dalam konstitusi Indonesia tidak lepas dari perdebatan panjang antara kelompok yang tidak setuju dengan kelompok yang menyerukan agar ketentuan HAM dimasukkan dalam batang tubuh konstitusi. Kelompok dissenting diwakili oleh Soekarno dan Soepomo, sedangkan kelompok konsensus diwakili oleh Moh. Hatta dan M.Yamin. Menurut Soekarno dan Soepomo, penolakan terhadap konsep hak asasi manusia dikemukakan dalam pasal-pasal konstitusi karena negara Indonesia yang mereka dirikan adalah negara yang berlandaskan kekeluargaan atau gotong royong dan menolak individualisme. Dalam istilah Soekarno disebut Philosophical Groundslag, atau dalam terminologinya Soepomo dikenal sebagai gagasan negara, tidak terkait dengan ideologi liberalisme dan kapitalisme.
Konsep hak asasi manusia dalam konstitusi Indonesia, bahwa keputusan untuk memasukkan muatan hak asasi manusia ke dalam konstitusi bukanlah hal yang sederhana, telah menarik banyak kajian teoretis dari perspektif sejarah, filosofis, dan sosiologis. Padahal, ketentuan hak asasi manusia hanya sepenuhnya dikembangkan dalam konstitusi; banyak peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur hak asasi manusia. Hal ini merupakan bukti nyata bahwa hak asasi manusia merupakan hal yang mendasar dan paling berharga bagi manusia dan patut mendapat perhatian lebih dalam pengaturannya, karena merupakan acuan mendasar bagi manusia untuk mewujudkan haknya sebagai manusia.