Mohon tunggu...
Hakimuddin Salim
Hakimuddin Salim Mohon Tunggu... -

PhD Candidate - Islamic Education Department - Islamic University of Madinah - www.hikmatia.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kuliah vs Nikah

25 November 2014   00:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:57 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Cerita ini berawal dari realita bahwa kelima anggota halaqah saya ternyata bujang semua. Mereka adalah mahasiswa Madinah yang sedang menghadapi masa-masa genting pencarian dan penantian. Sangat mendesak untuk menyampaikan materi baitul muslim kepada mereka. Sayang, sebagai Murobbi, saya bukan orang yang pantas menyampaikan materi itu. Apalagi kalau bukan karena status marital saya yang tidak berbeda dengan mereka. Berkali-kali saya menyinggung tentang masalah ini, selalu saja mereka menjawab, "Ah, omdo! Omong doang..". Terpaksa saya harus menghadirkan muwajjih khusus yang bisa membahas tentang pernikahan dan serba-serbinya.

Singkat cerita, akhirnya tiga orang Ustadz bersedia memberikan wejangan khusus kepada kami. Mereka adalah Ust. Asfuri Bahri, Lc (Staf BPK Pusat), Ust. Fahmi Rusydi, Lc (Ma'had Al Hikmah Bangka) dan Ust. Asril Abdullah, Lc (Pengasuh PP Husnul Khatimah)  Kebetulan ketiganya sedang mengikuti diklat yang diselenggarakan Rabitah Alam Islami di Mekkah. Yang pasti beliau-beliau sudah menikah dan punya anak, jadi nggak bakal ada lagi  cletukan "NATO, no action talking only" seperti biasa.

Di restoran Ma'azim, pada pinggiran kota Madinah yang bergaya lesehan, dauroh singkat tentang nikah itu dilaksanakan. Setelah menikmati nasi Bukhori dan ayam panggang, kemudian mendengarkan tilawah dari seorang di antara kami, saya sebagai moderator langsung memulai obrolan dan mempersilakan para Asatidz untuk mulai berbicara. Ustadz Asfuri dengan gayanya yang kalem memberikan motivasi menikah kepada kami. Ustadz Fahmi bercerita tentang masa lalunya ketika menjadi sekjen KAMMI Pusat periode pertama. Bagaimana antara Ikhwan dan Akhwat pada waktu itu begitu terhijab, bahkan menikah satu atap organisasi masih menjadi suatu hal yang tabu. Sedangkan Ustadz Asril menyampaikan tentang etika pergaulan dengan lawan jenis dan serba-serbi kehidupan berkeluarga.

Yang sangat menarik adalah ketika Ustadz Asfuri bercerita tentang proses pernikahannya dulu, sewaktu masih menjadi mahasiswa LIPIA Jakarta. Betapa miskinnya beliau pada saat itu. Bagaimana beliau menikah hanya bermodalkan sebuah Hadits Rasulullah SAW, bahwa ada tiga golongan manusia yang dijamin pasti akan ditolong Allah. Salah satunya adalah seorang pemuda yang menikah untuk menjaga keselamatan agamanya. Menurut beliau, esensi 'ubudiyah menikah adalah ketawakalan yang tinggi kepada Allah ta'ala. Memang sangat spekulatif, tapi dalam spekulasi itu ada kenikmatan yang luar biasa yang lahir dari rasa harap kepada Sang Maha Penolong.

Dan memang benar, soal menikah sulit terlogika dengan akal manusia. Secara nalar setelah menikah beban kehidupan seorang hamba akan bertambah. Namun yang tidak disadari, ternyata Allah juga menambahkan kekuatan kepada hamba tersebut untuk mampu memikul bebannya. "Jika mereka miskin, maka Allah akan menjadikan mereka kaya..", begitulah termaktub dalam Al Qur'an. Saya sendiri, meskipun belum merasakan langsung, menyaksikan bagaimana teman-teman mahasiswa Madinah membuktikannya.

Sebut saja namanya Asman. Mahasiswa fakultas Hadits ini menikah sejak tingkat dua. Istrinya ditinggal di Indonesia. Kini sudah dikaruniai seorang putri. Setiap menerima tunjangan beasiswa, ia harus membaginya menjadi dua, sebagian buat hidup selama sebulan dan sebagian yang lain harus dikirim ke Indonesia. Namun dengan beban keluarga tersebut tidak menjadikannya lemah dalam belajar. Ia pernah bercerita bahwa IPK-nya terus meningkat sejak ia menikah, meski beberapa waktu kosong harus ia isi dengan mencari nafkah. Kontribusinya dalam dakwah juga diakui teman-teman. Ia tetap aktif berkarya, menulis, menterjemah dan bahkan menjadi striker bola tim nasional kami. Wajahnya tenang, teduh dan tetap ceria.

Saya pernah mendapatkan jawaban yang tidak terbantahkan darinya soal menikah. Waktu itu ketika mahasiswa asal Garut ini memotivasi saya, saya beralasan ingin fokus studi dulu, S2, S3 dan seterusnya. Kemudian ia balik bertanya, "Antum masih kuat menahan tidak? Masih bisa menjaga pandangan? Kesucian diri?" Saya pun menjawab, "Sulit!". Asman kembali menimpali dengan sebuah kaidah, "Akhi, daf'ul mafasid muqoddam 'ala jalbil masholih". Bahwa menghindari kemafsadatan itu harus didahulukan daripada mencari kemaslahatan.

Betul juga kata Asman. Khayalan yang tidak halal dan pandangan yang tidak terjaga itu adalah mafsadat. Apalagi kalau sudah terjerumus kepada pacaran, konsumsi pornografi, onani dan penyakit bujang lainnya. Sedangkan belajar, S2, S3 dan status sosial, itu semua adalah maslahah. Jadi menikah untuk menahan mafsadat tersebut tadi harus menjadi prioritas, dibanding sekedar menggapai maslahat yang tidak darurat. Memang betul, yang sudah menikah sebagian waktunya tersita untuk mengurusi keluarga. Tapi coba hitung, berapa waktu yang dibuang para bujang untuk melamun, berimajinasi, chatingan, fesbukan, colek sana-sini, HTS-an atau abi-umian? Sedangkan yang pertama berpahala dan yang kedua mengarah ke dosa? (Deg! Kena banget Coy..).

Bahkan sebenarnya antara nikah dan studi tidak perlu dibenturkan. Semua bisa berjalan saling beriringan. Faruq Azad telah membuktikannya. Mahasiswa asal India ini adalah teman sekelas saya di fakultas Syari'ah semester kedua. Waktu itu ketika masuk kelas pertama kali kami membawa daftar mata kuliah yang tertulis di atasnya IP semester pertama. Saya yang saat itu duduk di sebelahnya mengintip berapa IP yang diraihnya. Luar biasa, 4.98, Hampir sempurna! Kemudian iseng saya bertanya kepadanya, "Antum sudah menikah?" Faruq menjawab, "Sudah". Lalu ia balik bertanya berapa nilai saya. Saya pun menjawab, "4.86". Kemudian setelah dia tahu nilai saya tidak lebih tinggi darinya dan ternyata saya belum menikah, dia pun berkata, "Miskin Anta!" yang artinya, kacian deh luuu…

Ada lagi, Abdul Latif panggilannya. Ia adalah tetangga kamar saya, asal Yaman. Ia sudah menikah dengan satu anak. Namun kemampuan ilmiyahnya membuat mulut semua orang ternganga. Ia peraih IP lima. Sempurna! Ia juga hafal Alqur'an 30 juz. Bahkan ia juga menguasai qiro'ah sab'ah. Ia pun hafal ratusan Hadits dan Syair Arab. Tahun kemarin ia menjadi perwakilan kampus dalam ajang mahasiswa nasional. Orangnya sangat ramah, tenang, dewasa dan berwibawa. Saya sering memintanya privat khusus dalam I'rab Nahwu dan ilmu Mawaris.

Begitulah, tugas belajar tidak menghalangi langkah mereka untuk menggenapkan separuh agama. Bagi mereka menikah bukan sekedar melaksanakan sunnah, tapi menikah adalah proyek besar membangun peradaban umat: turut serta melahirkan generasi robbani. Pernikahan yang barokah, akan menghasilkan lompatan-lompatan fantastis dalam hidup seseorang. Secara kedewasaan, spiritual, finansial, performa lahir, dan banyak hal lain. Bahkan teman saya bilang, dengan menikah kemudian berpisah, bisa menjadi kenangan tersendiri bagi kehidupan suami istri dan menambah harumnya bumbu romantika berkeluarga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun