“Wahai manusia, kalian lah yang faqir (butuh) kepada Allah; dan Allah lah Dzat Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji” (QS. Faathir: 15).
Di hari itu, pada medio Ramadhan tahun kedua Hijriah, kaum Muslimin Madinah yang baru seumur jagung terpaksa menghadapi peperangan yang tidak berimbang. Perkiraan awal bahwa mereka hanya akan melawan sekonvoi kafilah dagang Quraisy dengan jumlah tak seberapa, ternyata meleset. Abu Sufyan bin Harb yang memimpin batalyon pelindung waktu itu, rupanya memutar lewat tepi laut dan meminta bala bantuan dari Mekkah.
Di sebuah lembah bernama Badr, yang berjarak 130 KM dari Madinah, Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam bersama 312 Sahabat harus berhadapan dengan 1000 lebih pasukan Quraisy. Waktu itu pasukan Muslimin hanya bersenjata seadanya. Sedangkan kuffar Quraisy bergerak dengan amunisi kuat dan logistik lengkap.
Meski tetap bertahan dan tidak surut ke belakang, namun Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam ketika itu sempat ketar-ketir melihat tak imbangnya kekuatan. Berbagai rencana dan strategi perang sebenarnya telah disiapkan, namun rasa khawatir tetap tak bisa dihilangkan. Hingga dengan penuh tadhorru’, Rasulullah mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan berdoa, “Ya Allah, penuhilah janji-Mu kepadaku. Ya Allah, berikanlah apa yang telah Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, jika Engkau membinasakan pasukan Islam ini, maka tidak akan ada yang beribadah kepada-Mu di muka bumi ini selamanya ” (HR. Imam Muslim).
Dalam riwayat ini juga disebutkan bahwa Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam terus bermunajat kepada Rabbnya hingga selendang beliau jatuh dari pundak. Hingga Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu datang dan mengambil selendang tersebut kemudian meletakkan kembali di pundak beliau. Lalu Abu Bakar berusaha menghibur, “Wahai Nabi Allah, sudah cukup engkau bermunajat kepada Rabbmu dan Ia pasti akan memenuhi janji-Nya.”
Kemudian Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam segera mengambil baju besi dan terjun ke medan tempur. Allah pun mengabulkan doa penuh kerendahan itu dengan menurunkan 5000 Malaikatnya. "Sungguh Allah telah menolong kalian dalam perang Badar, padahal kalian ketika itu orang-orang yang lemah. Karena itu, bertakwalah kepada Allah, supaya kalian mensyukuri-Nya. Ingatlah ketika kamu mengatakan kepada orang Mukmin: apakah tidak cukup bagi kalian Allah membantu kalian dengan tiga ribu malaikat yang diturunkan dari langit? Ya cukup, jika kalian bersabar dan bertakwa dan mereka datang menyerang kalian dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kalain dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda” (QS. Ali Imron: 123-125).
Allahu Akbar! Betapa dahsyat kekuatan Allah dan betapa lemahnya manusia. Cuplikan perang Badar di atas mengingatkan kita akan pentingnya iftiqaar ilallah, merasa butuh kepada Allah. Rasa ini harus selalu terjaga dalam hati, sehebat apapun daya yang kita miliki. Dalam urusan rumah tangga, masalah ekonomi, hubungan sosial, dan dalam seluruh sisi kehidupan, kita butuh kepada Allah.
Orang-orang sholeh terdahulu paham betul akan hal ini. Banyak sekali kisah tentang iftiqaar mereka kepada Allah, termasuk dalam hal-hal yang kecil. Ada di antara mereka yang putus sandalnya, berdoa kepada Allah minta sandal baru. Bahkan ada yang butuh sejumput garam, sebelum mulai berikhtiar, mereka memohon dulu kepada Allah. Dalam kamus hidup mereka tidak ada yang namanya PD (Percaya Diri), yang ada hanya PA (Percaya Allah). Bahkan seorang Rasul pun pernah berdoa, “Janganlah Engkau sandarkan diriku kepada diriku sendiri, meski hanya sekejap mata” (HR. Imam Ahmad).
Itu dalam masalah remeh-temeh hidup keseharian. Lalu bagaimana dalam dakwah dan perjuangan memenangkan Islam? Tentu kita lebih butuh kepada Allah. Kekuatan kita yang sesungguhnya adalah ketika kita merasa lemah di hadapan Dzat yang Maha Kuat. Kemuliaan kita yang hakiki adalah ketika kita mau merendah kepada Rabb yang Maha Tinggi. Semakin kita merasa lemah di hadapan-Nya, kita akan semakin kuat. Semakin kita merendah kepada-Nya, semakin tinggi kita menjulang.
Pertanyaannya, sejauh mana kita merendah dan merasa butuh kepada Allah dalam tiap agenda dakwah kita? Bagi kita yang rajin berdemo di jalanan, serajin apa “demo” kita di hadapan Alloh pada keheningan malam? Atau kita malah maghrur (tertipu) dengan SDM yang berkualitas nan militan, kerapihan dan solidnya barisan, atau sumber dana yang berlimpahan, sehingga kita lupa untuk berdoa meminta pertolongan?
Dengan tegas Allah telah mengingatkan kita tentang tragedi Hunain, saat ada sebagian pasukan yang maghrur dengan hebatnya kekuatan Muslimin saat itu: “Dan ingatlah pada Perang Hunain, saat banyaknya jumlah kalian membuat kalian kagum, maka itu tidak memberi kalian manfaat sedikit pun, dan bumi yang begitu luas menjadi sempit, lalu kalian lari ke belakang” (QS. At-Taubah: 25).