"Yehhh, gw kasi tau aja ya. Mending lu nginep daripada pulang lewat situ." saran Aldi.
"Dah ah, gw mau pulang aja." jawabku.
Aku mulai berjalan menuju mobilku. Entah mengapa, aku rasa ucapan Aldi ada benarnya juga. Ditambah lagi, hujan turun semakin deras.
"Woy, Adit! Jangan lupa baca doa, sama jangan lupa, kalau udah mulai masuk area sekitaran Bukit Ciwaru, klakson tiga kali. Anggep aja 'permisi' ama yang nunggu"
"Iye-iye, santuy gw mah."
Perlahan, mobilku melaju meninggalkan rumah Aldi. Aku sudah menyetel radio dengan volume paling kencang untuk menemaniku pulang. Tak terasa, mobilku mulai menanjak, pertanda mulai memasuki daerah perbukitan. Tanpaku sadari, aku lupa membaca doa dan membunyikan klakson mobilku tiga kali.
"Ahh sudahlah, ga mungkin ada yang begituan." ujarku dalam hati.
Pepohonan karet dalam malam selarut ini sangatlah menakutkan. Jalanan yang sangat sepi dan hujan yang deras turut menambah rasa mencekam. Hujannya sangatlah deras, namun entah bagaimana, suhu mulai turun secara drastis. Aku mematikan AC mobilku. Walaupun sudah mematikan AC, tetap saja bulu kudukku merinding. Aku mulai merasakan hawa yang kurang enak. Tiba - tiba, ada seseorang menyebrang di depan mobilku. Sontak, aku menginjak rem.
"Aduduh...."
Sambil mencoba sadar kembali, aku melihat sosok kakek - kakek memakai topi petani. Mukanya tidak sepenuhnya terlihat, tetapi janggutnya agak panjang. Tangannya memegang semacam lentera yang sudah agak 'kuno'. Secara perlahan ia berjalan menuju ambang pintu mobilku. Sembari mengumpuli niat untuk marah, aku membuka jendela mobil. Entah ada angin apa, aku diam membeku.
"Nak..." ucap sang kakek lirih